Selasa, 20 November 2012

Fakhruddin ‘Iraqi (Penyair Terkenal Irak)


A.     Pendahuluan
Dalam dunia tasawwuf semata-mata hanya untuk mencari kasih sayang Sang Kholiknya serta mendekatkan diri kepada Yang Kuasa. Tasawwuf merupakan salah satu bentuk spiritualitas dalam islam dan merupakan kejiawaan dalam melawan setiap keinginan (nafsu) yang dapat membelokkan dan menjauhkan diri manusia dari tuhannya.
Seorang sufi jika menginginkan kedekatan dengan Sang Kholiqnya maka membutuhkan bebarapa tingkatan seperti ma’rifat kepada Allah, dzikir kepada Allah dan taat kepadaNya.
Salah satu sufi terkenal yaitu Fakhruddin ‘Iraqi, penyair terkenal di Irak dengan karya yang bejudul Lama’at (Kilau-Kemilau Ilahi). Model gaya bahasa dalam lama’at  meniru gaya sawanih yaitu karangan terkenal dari Ahmad Ghazali (adik kandung penulis sufi terkenal Abu hamid al-Ghazali). Ahmad Ghazali seperti Iraqi yaitu seorang sufi Madzhab Cinta (School of Love); keduanya adalah syeikh terkemukaka dan keduanya ahli dalam bahsa Persia. Jadi tak heran bila ‘Iraqi mengagumi Ghazali. Sawanih meringkas sejumlah renungan yang secara longgar dihubungkan dengan tema-tema Cinta, Kecantikan, Pencinta dan Yang Tercinta (kekasih), diselang-seling dengan puisi dan anekdot-anekdot, yang ditulis dalam suatu cara yang sangat padat, jelas dan mewah.
Dalam Lama’at, ‘Iraqi mengembangkan filsafatnya sendiri tentang cinta, dengan meminjam bebarapa terminologi Ghazali dan Ibn Arabi, akan tetapi seluruh konsep dan sintesis adalah miliknya.[1]
Dalam makalah yang sederhana ini, penulis mencoba memberikan sebuah pemaparan tentang riwayat hidup ‘Iraqi dan pemikiran ‘Iraqi tentang cinta.

B.     Riwayat Hidup Fakhruddin Iraqi[2]
Nama Fakhruddin ‘Iraqi adalah Fakhrudin Ibrahim, beliau biasa di panggil “’Iraqi”. beliau lahir di kota Kamajan dekat dengan kota Hamadan pada tanggal 10 Juni 1213 M. Beliau wafat pada tanggal 8 Dzulqa’dah 688/ 23 November. Dan Ia merupakan seorang filsuf dan mistik Persia dari tradisi Islam. Para leluhurnya merupakan seorang ilmuan dan budayawan. Sebulan sebelum kelahirannya, ayahnya bermimpi bertemu Ali bin Abi Thalib dan para wali yang dalam mimpinya tersebut Ali memberinya seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi penguasa dunia. Kemudian sang ayah terbangun dari tidurnya dengan bahagia. Ketika Iraqi lahir, wajahnya sama dengan wajah anak laki-laki yang dalam mimpinya.
Iraqi tumbuh sebagai anak yang cerdas. Pada usia 5 tahun ia sudah disekolahkan, dan pada usia 9 tahun ia telah hafal Alquran. Ia memiliki kebiasaa yaitu menyenandungkan Al-quran dengan suara yang merdu setiap pagi, terkadang ia menangis sehingga orang yang mendengar suara merdunya menjadi sedih dan gelisah serta membuat para tetangga dan anak-anak mengaguminya. Dikala berusia 8 tahun ia  terkenal di seluruh Hamadan. Dan pada usia 17 tahun, Iraqi telah belajar semua ilmu pengetahuan, yang naqli dan yang ‘aqli, dan ia telah siap untuk mulai mengajar.
Dalam masalah spiritual, ‘Iraqi berguru pada Syekh Bahauddin Zakariya Multani (578/1182) di Multan (sekarang Pakistan). Beliau adalah kepala tarekat Suhrawardi dan pengganti langsung Syihabuddin Suhrawardi al-Baqdadi (539/1149 – 632/1234; syeikh Suhrawardi terbesar kedua). Beliau berasal dari keturunan suku Quraisy. Iraqi belajar di Multan selama 25 tahun. Selama itu, ia terus menggubah puisi dan mengembangkannya yang hidup hingga saat ini diseluruh dunia berbahasa Persia, termasuk India. Dia tak pernah sangat subur berkarya, dan seluruh koleksi karyanya dapat dikumpulkan dalam sebuah ukuran volume yang rata-rata sama. Disamping karya-karyanya yang lebih pendek, yang kebanyakan  terdiri dari lirik dan kuatrin singkat, dia menulis sebuah puisi anekdot yang lebih panjang yang disebut “Usysyaq-namah, yang ia persembahkan pada wazir Syamsuddin Juwaini. Beliau menjumpainya di Turki menjelang akhir hayatnya. Akan tetapi karya besar beliau adalah “lamaat”.
Setiap selesai mengikuti mata kuliyah Qunawi tentang “fushush”,  Iraqi menginginkan untuk mengubah sebuah renungan ringkas dalam campuran prosa dan ayat. Akhirnya dia mengoleksinya dan menyebutnya “lamaat” (Flashes Kilau Kemilau). Modelnya meniru gaya “Sawanih” yang sangat terkenal dari Ahmad Ghazali (adik kandung sufi penulis terkenal Abu Hamid al-Ghazali). Yang mana sawanih ini meringkas sejumlah renungan yang dihubungkan dengan tema-tema cinta, kecantikan,pencinta dan yang tercinta (kekasih) dan diselingi puisi dan anekdot-anekdot.
Ketika Iraqi telah menyelesaikan karyanya yang seperi fushush, yang meringkas dua puluh delapan bab, dia mengajukannya kepada Qunawi untuk persetujuan. Syeikh Shadruddin membacanya kemudian mencium buku tersebut dan menempatkannya dihadapan matanya (seperti orang yang sedang melakukan pada kitab suci) dan beliau berseru, ‘Iraqi kau telah mempublikasikan rahasia kata-kata orang. Lamaat sebenarnya adalah intisari fushush”.
Guru-guru beliau adalah Shadruddin Qunawi (w. 673/1274) dan Bahauddin (w. 666/1267-1628).

C.     Cinta Menurut fakhruddi ‘Iraqi
Iroqi mendefinisikan cinta dalam terminologi wujud semata. Ia merupakan asal dari setiap sesuatu. Pencinta atau makhluk, yang merupakan mumkin al wujud (possible existent), berasal dari wujud sebagai Sang Kekasih atau Allah (Wajib al-Wujud; Necessary Being) tak lain adalah juga wujud, sekalipun terbatas dalam sebuah pengertian tertentu--- karena Allah adalah wajib dan bukan mungkin atau gabungan. Tetapi wujud adalah di luar batasan baik oleh wajib atau mumkin, jadi meliputi Allah dan dunia. Maka cinta adalah sumber pencinta dari sang kekasih. Kata arab pencinta (‘asyiq) dan yang tercinta (masyuq) berasal dari akar kata cinta (‘isyq)[3].
Menurut Iraqi, Allah adala cinta. Maka alam makhluq sendiri berasal dari sifat-sifat ini, karena Dia “ingin” dikenal. Hubungan cinta secara tak langsung menyatakan seorang pencinta dan sang kekasih dan pada tataran ta’ayyun awal di mana cinta pertama kali teraktualisasi, pencinta dan sang kekasih bisa tak lain kecuali Dia, karena ini adalah tataran ketunggalan. Apa yang Dia cintai adalah kecantikan diri-Nya yang tak terbatas dan kemungkinan manifestasi dhahir yang tak pernah berakhir dan penyebaran yang terpendam di dalamnya atau dalam ungkapan lain kamal al- jala’ wa al-istijla’.
Dia ingin kecantikan-kecantikan dan kesempurnaan-kesempurnaan diri-Nya yang tak terbatas disebarkan  dalam sebuah keluasaan dan penyebaran yang tak terbatas sehingga apa yang Dia pandang di dalam diri-Nya pada tataran asma bathin (Kanz Makhfy; Kekayaan Tersembunyi) bisa juga menjadi yang dipandang “tanpa” diri-Nya pada tataran asma dzahir.
Tapi pada kenyataannya, tak satupun yang memiliki wujud selain Allah. Entitas-entitas adalah ghoiru maujud. Jadi yang melihat sebenarnya adalah Dia, sebagaimana yang dilihat tak lain adalah Dia.[4]
Realitas cinta adalah satu diantara kesempurnaan-kesempurnaan yang inheren dalam wujud. Menurut ungkapan sufi, “wujud turun dengan seluruh serdadunya,” cinta meliputi setiap sesuatu. Dimanapun sesuatu ada, cinta ada di sana, inheren dalam sifat eksistensi itu sendiri. Di manapun wujud menampakkan cahayaNya, cinta sibuk mendorong eksistensi ke arah seluruh tujuan seluruhnya, kamal al-jala’ wa al-istijla’. Jadi cinta meliputi setiap sesuatu, setiap gerak dan diam, aksi dan reaksi, sebab dan akibat. Ringkasnya, yaitu hanya ada satu hakikat; cinta atau wujud. Ia memanifestasikan diri-Nya dalam dua bentuk, pencinta dan sang kekasih, manusia dan Allah. Keduanya saling merefleksikan, mengamatin dan mencintai yang lain, dengan demikian membuat asma-asma dan sifat-sifat Allah---kanz makhfy--- perwujudan. Akibatnya semua kesempurnaan wujud yang terpendam menjadi diketahui secara zhahir.[5]

D.    Cinta Dalam Kehidupan Manusia
Di dalam buku Lama’at tidak dijelaskan tentang pembagian cinta, baik itu cinta sufi (cinta manusia untuk Allah) atau cinta duniawi (cinta pria kepada wanita atau sebaliknya) ataupun keduanya sekaligus. Akan tetapi Iraqi hanya sebatas menjelskan tentang cinta semata dalam seluruh bentuk-bentuknya yang terjadi, apakah cinta sufi, cinta duniawi, cinta alegoris (‘isyg-i majazi—cinta untuk Allah sebagaimana direnungkan dalam manifestasi diri-Nya dalam bentuk wanita), cinta ilahi (cinta Allah pada manusia dan makhluk-makhluknya), cinta yang bersifat makhluq (cinta tiap makhluk karena masing-masing kesempurnaannya) atau fenomena lain yang pantas disebut cinta. Masing-maisng semua ini adalah cinta yang tak terbatas yang telah mutaa’yyan (entifed) dan mahdudah (delemited) sesuai dengan wadah di dalam mana ia memanifestasikan diri-Nya.[6]
Sedangkankan dalam pandangan Rumi cinta sebagai dimensi pengalaman rohani, cinta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata  tapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Sebagaimana halnya seseorang yang ingin mengungkapkan cinta kepada kekasihnya, kata-kata tak dapat mewakili apa yang ada di hati melalui selembar kertas.[7]
Cinta manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu; “cinta sejati” (‘isyq haqiqi) atau cinta pada tuhan dan “cinta imitasi” (‘isyq majazi) atau cinta terhadap segala  yang selain-Nya. Akan tetapi dalam pengujian yang lebih dekat, orang melihat cinta sesungguhnya adalah cinta pada Tuhan, karena segala sesuatu adalah pantulan dan bayang-bayangNya. Sedangkan adanya perbedaan antara dua jenis cinta tersebut dikarenakan orang memahami yang ada hanyalah Tuhan dan cinta untukNya semata; sementara yang lainnya meyakini adanya keterlepasan eksistensi dari segala objek keinginan dan mengarahkan cinta terhadapnya.[8]
Cinta imitasi atau cinta semu (‘isyq majazi) merujuk kepada cinta kepada makhluq, yang ditujukan demi pemenuhan keinginan nafsu rendah seseorang. Dalam cinta semu memiliki beberapa prinsip, salah satunya adalah keindahan fisik dan eksternal seorang laki-laki atau perempuan dikenal dengan husn. Husn inilah yang membangkitakan nafsu dikalangan kaum muda. Tidak ada pengaruh yang lebih besar dalam dunia materi ketimbang husn;  ia menyebabkan orang-orang bertindak secara tidak rasional meskipun mereka beruntekigensi tinggi.[9]
Cinta kepada yang selainNya tapi berasal dariNya, akan membawa orang kepadaNya. Setiap objek keinginan dari orang perorang akan menunjukkan kepalsuannya, dan orang akan mengalihkan cintanya. Namun bagaimanapun juga setiap hasrat  (cinta) tidak akan menemukan kekasih sejati kecuali setelah kematian, manakala ia sudah terlambat untuk menutup jurang keterpisahan. Bagi seorang sufi, hanya ada satu Yang Tercinta; dia melihat bahwa semua cinta “palsu” beku dan tidak nyata.[10]
Kaitan antara Iraqi dan Rumi menurut analisis pemakalah bahwasannya cinta bermakna umum. Walaupun cinta menurut Rumi terbagi menjadi dua bagian namun cinta sesungguhnya yaitu cinta kepada tuhanNya. Cinta terhadap manusia bermula dari cinta kepada tuhanNYa. Sebenarnya cinta disini hanya merujuk kepada yang Kuasa. Cinta mereka berdua kepada tuhanNya melalui puisi-puisi yang begitu indah.

E.     Kesimpulan Dan Penutup
Sebagaimana penjelasan di atas bahwasannya Fakhruddin Iraqi merupakan salah satu penyair terkenal di Iraq. Selain itu beliau seorang filusuf dan mistik Persia dari tradisi Islam. Beliau merupakan anak yang cerdas, ketika berusia 9 tahun telah menghafal seluruh ayat al-Quran dan melantunkannya setiap pagi sehingga orang-orang banyak mengaguminya.Pada usia 8 tahun, Iraqi sangat terkenal di kota Hamadan. Setiap hari usai melaksanakan sholat ashar, dia mengulang hafalan al-Quran dan orang-orang mendengarkannya.
‘Iraqi mendefinisikan cinta sebagai wujud semata. Cinta merupakan  sumber pencinta dari sang kekasih. Kata arab pencinta (‘asyiq) dan yang tercinta (masyuq) berasal dari akar kata cinta (‘isyq). Hubungan cinta secara tak langsung menyatakan seorang pencinta dan sang kekasih dan pada tataran ta’ayyun awal di mana cinta pertama kali teraktualisasi, pencinta dan sang kekasih bisa tak lain kecuali Dia, karena ini adalah tataran ketunggalan. Realitas cinta adalah satu diantara kesempurnaan-kesempurnaan yang inheren dalam wujud.
Sedangkankan dalam pandangan Rumi cinta sebagai dimensi pengalaman rohani, cinta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata  tapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Sebagaimana halnya seseorang yang ingin mengungkapkan cinta kepada kekasihnya, kata-kata tak dapat mewakili apa yang ada di hati melalui selembar kertas
Konsep cinta manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu; “cinta sejati” (‘isyq haqiqi) atau cinta pada tuhan dan “cinta imitasi” (‘isyq majazi) atau cinta terhadap segala  yang selain-Nya.

DAFTAR PUSTAKA
Breton,  Denise dan Christopher Largent. Menari Bersama Rumi (diterjemahkan oleh Rahmani Astuti). 2006. Bandung: Pustaka Hidayah
 Chittik, William C. Jalan Cinta sang Sufi (diterjemahkan oleh M. Sadat Ismail dan Ahmad Nadjam) cet. Ke-3. 2001. Yogyakarta: Qalam
Chittik, William C. dan Peter L. Wilson, Fakhruddin ‘Iraqi; Lama’at (Kilau-Kemilau Ilahi) (diterjemahkan oleh Hodri Ariev). 2001. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Naqshabandi, Faqir Zulfiqar Ahmad, Cinta Abadi Para Kekasih Allah,cet. Ke-1. 2002. Bandung: Marja’



[1]. William C. Chittick dan Peter L. Wilson, Fakhruddin ‘Iraqi; Lama’at (Kilau-Kemilau Cinta), diterjemahkan oleh Hodri Arie, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2001, 71.
[2] . William C. Chittick dan Peter L. Wilson, Fakhruddin ‘Iraqi; Lama’at (Kilau-Kemilau Cinta), diterjemahkan oleh Hodri Arie, 51-98.
[3] .Ibid, 195.
[4] . Ibid, 198.
[5] . Ibid 199.
[6] . Ibid, 43.
[7] . William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, (Yogyakarta; Qalam) 2001,291.
[8] . Ibid,302.
[9] . faqih Zulfiqar A. Naqsabandi, Cinta Abadi Kekasih Allah, (Bandung;  Marja’), 2002, 39.
[10] . William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, 302.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar