A.
Pendahuluan
Dalam
dunia tasawwuf semata-mata hanya untuk mencari kasih sayang Sang Kholiknya
serta mendekatkan diri kepada Yang Kuasa. Tasawwuf merupakan salah satu bentuk
spiritualitas dalam islam dan merupakan kejiawaan dalam melawan setiap
keinginan (nafsu) yang dapat membelokkan dan menjauhkan diri manusia
dari tuhannya.
Seorang
sufi jika menginginkan kedekatan dengan Sang Kholiqnya maka membutuhkan
bebarapa tingkatan seperti ma’rifat kepada Allah, dzikir kepada Allah dan taat
kepadaNya.
Salah
satu sufi terkenal yaitu Fakhruddin ‘Iraqi, penyair terkenal di Irak dengan
karya yang bejudul Lama’at (Kilau-Kemilau Ilahi). Model gaya bahasa
dalam lama’at meniru gaya sawanih
yaitu karangan terkenal dari Ahmad Ghazali (adik kandung penulis sufi terkenal
Abu hamid al-Ghazali). Ahmad Ghazali seperti Iraqi yaitu seorang sufi Madzhab
Cinta (School of Love); keduanya adalah syeikh terkemukaka dan keduanya
ahli dalam bahsa Persia. Jadi tak heran bila ‘Iraqi mengagumi Ghazali. Sawanih
meringkas sejumlah renungan yang secara longgar dihubungkan dengan
tema-tema Cinta, Kecantikan, Pencinta dan Yang Tercinta (kekasih), diselang-seling
dengan puisi dan anekdot-anekdot, yang ditulis dalam suatu cara yang sangat
padat, jelas dan mewah.
Dalam Lama’at,
‘Iraqi mengembangkan filsafatnya sendiri tentang cinta, dengan meminjam bebarapa
terminologi Ghazali dan Ibn Arabi, akan tetapi seluruh konsep dan sintesis
adalah miliknya.[1]
Dalam
makalah yang sederhana ini, penulis mencoba memberikan sebuah pemaparan tentang
riwayat hidup ‘Iraqi dan pemikiran ‘Iraqi tentang cinta.
B.
Riwayat Hidup Fakhruddin Iraqi[2]
Nama
Fakhruddin ‘Iraqi adalah Fakhrudin Ibrahim, beliau biasa di panggil “’Iraqi”. beliau lahir di kota Kamajan dekat dengan
kota Hamadan pada tanggal 10 Juni 1213 M. Beliau wafat pada tanggal 8
Dzulqa’dah 688/ 23 November. Dan Ia merupakan seorang filsuf dan mistik
Persia dari tradisi Islam. Para leluhurnya merupakan seorang
ilmuan dan budayawan. Sebulan sebelum kelahirannya, ayahnya bermimpi bertemu
Ali bin Abi Thalib dan para wali yang dalam mimpinya tersebut Ali memberinya
seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi penguasa dunia. Kemudian sang ayah terbangun dari tidurnya dengan
bahagia. Ketika Iraqi lahir,
wajahnya sama dengan wajah anak laki-laki yang dalam mimpinya.
Iraqi tumbuh
sebagai anak yang cerdas. Pada usia 5 tahun ia sudah disekolahkan, dan pada
usia 9 tahun ia telah hafal Alquran. Ia memiliki kebiasaa yaitu
menyenandungkan Al-quran dengan suara yang merdu setiap pagi, terkadang ia
menangis sehingga orang yang mendengar suara merdunya menjadi sedih dan gelisah serta membuat para tetangga dan anak-anak mengaguminya.
Dikala berusia 8 tahun ia terkenal di seluruh
Hamadan. Dan pada usia 17 tahun, Iraqi telah belajar semua ilmu pengetahuan,
yang naqli dan yang ‘aqli, dan ia telah siap untuk mulai
mengajar.
Dalam
masalah spiritual, ‘Iraqi berguru
pada Syekh Bahauddin Zakariya Multani (578/1182) di
Multan (sekarang Pakistan). Beliau adalah kepala tarekat
Suhrawardi dan pengganti langsung Syihabuddin Suhrawardi al-Baqdadi (539/1149 –
632/1234; syeikh Suhrawardi terbesar kedua). Beliau berasal
dari keturunan suku Quraisy. Iraqi belajar
di Multan selama 25 tahun. Selama itu, ia terus menggubah puisi dan
mengembangkannya yang hidup hingga saat ini diseluruh dunia berbahasa Persia,
termasuk India. Dia tak pernah sangat
subur berkarya, dan seluruh koleksi karyanya dapat dikumpulkan dalam sebuah
ukuran volume yang rata-rata sama. Disamping karya-karyanya yang lebih pendek,
yang kebanyakan terdiri dari lirik dan
kuatrin singkat, dia menulis sebuah puisi anekdot yang lebih panjang yang
disebut “Usysyaq-namah, yang ia persembahkan pada wazir Syamsuddin
Juwaini. Beliau menjumpainya di Turki menjelang akhir hayatnya. Akan tetapi
karya besar beliau adalah “lamaat”.
Setiap
selesai mengikuti mata kuliyah Qunawi tentang “fushush”, Iraqi menginginkan untuk mengubah sebuah
renungan ringkas dalam campuran prosa dan ayat. Akhirnya dia mengoleksinya dan
menyebutnya “lamaat” (Flashes Kilau Kemilau). Modelnya meniru gaya “Sawanih”
yang sangat terkenal dari Ahmad Ghazali (adik kandung sufi penulis terkenal Abu
Hamid al-Ghazali). Yang mana sawanih ini meringkas sejumlah renungan
yang dihubungkan dengan tema-tema cinta, kecantikan,pencinta dan yang
tercinta (kekasih) dan diselingi puisi dan anekdot-anekdot.
Ketika
Iraqi telah menyelesaikan karyanya yang seperi fushush, yang meringkas
dua puluh delapan bab, dia mengajukannya kepada Qunawi untuk persetujuan.
Syeikh Shadruddin membacanya kemudian mencium buku tersebut dan menempatkannya
dihadapan matanya (seperti orang yang sedang melakukan pada kitab suci) dan
beliau berseru, ‘Iraqi kau telah mempublikasikan rahasia kata-kata orang. Lamaat
sebenarnya adalah intisari fushush”.
Guru-guru
beliau adalah Shadruddin Qunawi (w. 673/1274) dan Bahauddin (w. 666/1267-1628).
C.
Cinta Menurut fakhruddi ‘Iraqi
Iroqi
mendefinisikan cinta dalam terminologi wujud semata. Ia merupakan asal
dari setiap sesuatu. Pencinta atau makhluk, yang merupakan mumkin al wujud
(possible existent), berasal dari wujud sebagai Sang Kekasih atau Allah (Wajib
al-Wujud; Necessary Being) tak lain adalah juga wujud, sekalipun terbatas
dalam sebuah pengertian tertentu--- karena Allah adalah wajib dan bukan mungkin
atau gabungan. Tetapi wujud adalah di luar batasan baik oleh wajib atau mumkin,
jadi meliputi Allah dan dunia. Maka cinta adalah sumber pencinta dari sang
kekasih. Kata arab pencinta (‘asyiq) dan yang tercinta (masyuq) berasal
dari akar kata cinta (‘isyq)[3].
Menurut
Iraqi, Allah adala cinta. Maka alam makhluq sendiri berasal dari sifat-sifat
ini, karena Dia “ingin” dikenal. Hubungan cinta secara tak langsung menyatakan
seorang pencinta dan sang kekasih dan pada tataran ta’ayyun awal di mana
cinta pertama kali teraktualisasi, pencinta dan sang kekasih bisa tak lain
kecuali Dia, karena ini adalah tataran ketunggalan. Apa yang Dia cintai adalah
kecantikan diri-Nya yang tak terbatas dan kemungkinan manifestasi dhahir yang
tak pernah berakhir dan penyebaran yang terpendam di dalamnya atau dalam
ungkapan lain kamal al- jala’ wa al-istijla’.
Dia
ingin kecantikan-kecantikan dan kesempurnaan-kesempurnaan diri-Nya yang tak
terbatas disebarkan dalam sebuah
keluasaan dan penyebaran yang tak terbatas sehingga apa yang Dia pandang di
dalam diri-Nya pada tataran asma bathin (Kanz Makhfy; Kekayaan Tersembunyi) bisa
juga menjadi yang dipandang “tanpa” diri-Nya pada tataran asma dzahir.
Tapi
pada kenyataannya, tak satupun yang memiliki wujud selain Allah.
Entitas-entitas adalah ghoiru maujud. Jadi yang melihat sebenarnya
adalah Dia, sebagaimana yang dilihat tak lain adalah Dia.[4]
Realitas
cinta adalah satu diantara kesempurnaan-kesempurnaan yang inheren dalam wujud.
Menurut ungkapan sufi, “wujud turun dengan seluruh serdadunya,” cinta meliputi
setiap sesuatu. Dimanapun sesuatu ada, cinta ada di sana, inheren dalam sifat
eksistensi itu sendiri. Di manapun wujud menampakkan cahayaNya, cinta sibuk
mendorong eksistensi ke arah seluruh tujuan seluruhnya, kamal al-jala’ wa
al-istijla’. Jadi cinta meliputi setiap sesuatu, setiap gerak dan diam,
aksi dan reaksi, sebab dan akibat. Ringkasnya, yaitu hanya ada satu hakikat;
cinta atau wujud. Ia memanifestasikan diri-Nya dalam dua bentuk, pencinta dan
sang kekasih, manusia dan Allah. Keduanya saling merefleksikan, mengamatin dan
mencintai yang lain, dengan demikian membuat asma-asma dan sifat-sifat Allah---kanz
makhfy--- perwujudan. Akibatnya semua kesempurnaan wujud yang
terpendam menjadi diketahui secara zhahir.[5]
D.
Cinta Dalam Kehidupan Manusia
Di dalam
buku Lama’at tidak dijelaskan tentang pembagian cinta, baik itu cinta
sufi (cinta manusia untuk Allah) atau cinta duniawi (cinta pria kepada wanita
atau sebaliknya) ataupun keduanya sekaligus. Akan tetapi Iraqi hanya sebatas
menjelskan tentang cinta semata dalam seluruh bentuk-bentuknya yang terjadi,
apakah cinta sufi, cinta duniawi, cinta alegoris (‘isyg-i majazi—cinta
untuk Allah sebagaimana direnungkan dalam manifestasi diri-Nya dalam bentuk
wanita), cinta ilahi (cinta Allah pada manusia dan makhluk-makhluknya), cinta
yang bersifat makhluq (cinta tiap makhluk karena masing-masing kesempurnaannya)
atau fenomena lain yang pantas disebut cinta. Masing-maisng semua ini adalah
cinta yang tak terbatas yang telah mutaa’yyan (entifed) dan mahdudah
(delemited) sesuai dengan wadah di dalam mana ia memanifestasikan diri-Nya.[6]
Sedangkankan
dalam pandangan Rumi cinta sebagai dimensi pengalaman rohani, cinta tidak dapat
diterangkan dengan kata-kata tapi hanya
dapat dipahami melalui pengalaman. Sebagaimana halnya seseorang yang ingin
mengungkapkan cinta kepada kekasihnya, kata-kata tak dapat mewakili apa yang
ada di hati melalui selembar kertas.[7]
Cinta
manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu; “cinta sejati” (‘isyq haqiqi)
atau cinta pada tuhan dan “cinta imitasi” (‘isyq majazi) atau cinta
terhadap segala yang selain-Nya. Akan
tetapi dalam pengujian yang lebih dekat, orang melihat cinta sesungguhnya
adalah cinta pada Tuhan, karena segala sesuatu adalah pantulan dan
bayang-bayangNya. Sedangkan adanya perbedaan antara dua jenis cinta tersebut
dikarenakan orang memahami yang ada hanyalah Tuhan dan cinta untukNya semata;
sementara yang lainnya meyakini adanya keterlepasan eksistensi dari segala
objek keinginan dan mengarahkan cinta terhadapnya.[8]
Cinta
imitasi atau cinta semu (‘isyq majazi) merujuk kepada cinta kepada
makhluq, yang ditujukan demi pemenuhan keinginan nafsu rendah seseorang. Dalam
cinta semu memiliki beberapa prinsip, salah satunya adalah keindahan fisik dan
eksternal seorang laki-laki atau perempuan dikenal dengan husn. Husn inilah
yang membangkitakan nafsu dikalangan kaum muda. Tidak ada pengaruh yang lebih
besar dalam dunia materi ketimbang husn; ia menyebabkan orang-orang bertindak secara
tidak rasional meskipun mereka beruntekigensi tinggi.[9]
Cinta
kepada yang selainNya tapi berasal dariNya, akan membawa orang kepadaNya.
Setiap objek keinginan dari orang perorang akan menunjukkan kepalsuannya, dan
orang akan mengalihkan cintanya. Namun bagaimanapun juga setiap hasrat (cinta) tidak akan menemukan kekasih sejati
kecuali setelah kematian, manakala ia sudah terlambat untuk menutup jurang
keterpisahan. Bagi seorang sufi, hanya ada satu Yang Tercinta; dia melihat
bahwa semua cinta “palsu” beku dan tidak nyata.[10]
Kaitan
antara Iraqi dan Rumi menurut analisis pemakalah bahwasannya cinta bermakna
umum. Walaupun cinta menurut Rumi terbagi menjadi dua bagian namun cinta
sesungguhnya yaitu cinta kepada tuhanNya. Cinta terhadap manusia bermula dari
cinta kepada tuhanNYa. Sebenarnya cinta disini hanya merujuk kepada yang Kuasa.
Cinta mereka berdua kepada tuhanNya melalui puisi-puisi yang begitu indah.
E.
Kesimpulan Dan Penutup
Sebagaimana
penjelasan di atas bahwasannya Fakhruddin Iraqi merupakan salah satu penyair
terkenal di Iraq. Selain itu beliau seorang filusuf dan mistik Persia dari
tradisi Islam. Beliau merupakan anak yang cerdas, ketika berusia 9 tahun telah
menghafal seluruh ayat al-Quran dan melantunkannya setiap pagi sehingga
orang-orang banyak mengaguminya.Pada usia 8 tahun, Iraqi sangat terkenal di
kota Hamadan. Setiap hari usai melaksanakan sholat ashar, dia mengulang hafalan
al-Quran dan orang-orang mendengarkannya.
‘Iraqi
mendefinisikan cinta sebagai wujud semata. Cinta merupakan sumber pencinta dari sang kekasih. Kata arab
pencinta (‘asyiq) dan yang tercinta (masyuq) berasal dari akar
kata cinta (‘isyq). Hubungan cinta secara tak langsung menyatakan
seorang pencinta dan sang kekasih dan pada tataran ta’ayyun awal di mana
cinta pertama kali teraktualisasi, pencinta dan sang kekasih bisa tak lain
kecuali Dia, karena ini adalah tataran ketunggalan. Realitas cinta adalah satu
diantara kesempurnaan-kesempurnaan yang inheren dalam wujud.
Sedangkankan
dalam pandangan Rumi cinta sebagai dimensi pengalaman rohani, cinta tidak dapat
diterangkan dengan kata-kata tapi hanya
dapat dipahami melalui pengalaman. Sebagaimana halnya seseorang yang ingin
mengungkapkan cinta kepada kekasihnya, kata-kata tak dapat mewakili apa yang
ada di hati melalui selembar kertas
Konsep
cinta manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu; “cinta sejati” (‘isyq haqiqi)
atau cinta pada tuhan dan “cinta imitasi” (‘isyq majazi) atau cinta
terhadap segala yang selain-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Breton, Denise dan Christopher Largent. Menari
Bersama Rumi (diterjemahkan oleh Rahmani Astuti). 2006. Bandung: Pustaka
Hidayah
Chittik, William C. Jalan
Cinta sang Sufi (diterjemahkan
oleh M. Sadat Ismail dan Ahmad Nadjam) cet. Ke-3. 2001. Yogyakarta: Qalam
Chittik, William C. dan
Peter L. Wilson, Fakhruddin ‘Iraqi; Lama’at (Kilau-Kemilau Ilahi) (diterjemahkan oleh Hodri Ariev). 2001. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Naqshabandi, Faqir
Zulfiqar Ahmad, Cinta Abadi Para Kekasih Allah,cet. Ke-1. 2002.
Bandung: Marja’
[1]. William C.
Chittick dan Peter L. Wilson, Fakhruddin ‘Iraqi; Lama’at (Kilau-Kemilau
Cinta), diterjemahkan oleh Hodri Arie, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama),
2001, 71.
[2] . William C.
Chittick dan Peter L. Wilson, Fakhruddin ‘Iraqi; Lama’at (Kilau-Kemilau
Cinta), diterjemahkan oleh Hodri Arie, 51-98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar