Kamis, 25 April 2013

ILMU NĀSIKH MANSŪKH DALAM AL-QUR’AN



Oleh:
M. Bik Muhtaruddin
IAIN Sunan Ampel Surabaya

 Abstraksi
Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling  bertentangan.[1] Ungkapan ini sangat penting dalam rangka   memahami   dan    menafsirkan    ayat-ayat    serta ketentuan-ketentuan  yang  ada  dalam  al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat  lebih  dan  terbagi  dalam  114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.  Didalamnya terkandung antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur,   perintah   dan   larangan.   Masalah-masalah   yang disebutkan   terakhir   ini,   tampak  jelas  dengan  adanya ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini  terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
Dalam  kaitan  itu, Imām Suyuṭī maupun Imām Syaibī banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat  adanya  pendapat yang  memandang  adanya  tiap  ayat  atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat   lainnya   dari  al-Qur'an  tidak  ada kontradiksi (ta'aru). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk    meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'aru) yang demikian merupakan  asas metode penafsiran  dimana Nāskh-Mansūkh merupakan salah satu bagiannya.

BAB I
PENDAHULUAN

Al-Quran adalah kitab suci kaum Muslim yang diyakini berisi wahyu- yang otentik dari Allah. Doktrin ini menempatkan kitab suci ini sebagai sumber utama ajaran Islam dan menjadi pedoman hidup abadi dan universal. Abadi berarti terus berlaku sampai akhir zaman, sedangkan universal syari’atnya berlaku  untuk seluruh dunia tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis. Dengan doktrin ini diyakini bahwa kandungan-kandungannya baik yang berkenaan dengan akidah, moral, termasuk masalah hukum adalah berlaku sepanjang masa. Hanya saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para ulama karena adanya perbedaan masalah yang mereka tekankan. Sebagian ulama  melihat bahwa faktor kesucian Al-Qur’an yang paling menonjol, sedangkan yang lainnya melihat faktor kelanggengan Al-Qur’an dalam menjawab setiap tuntutan situasi dan kondisi.
Di antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan mereka adalah nasikh dan mansukh. Diskursus tentang konsep nasikh mansukh sampai saat ini masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Pertanyaan pokoknya adalah apakah ada nasikh mansukh dalam Alquran? Persoalan ini bernuansa ikhtilaf (baca: kontradiksi) di kalangan ulama. Sebagian ulama menolak konsep nasakh, namun sebagian mendukung konsep nasakh tersebut, bahkan yang terbanyak dari mereka berpendapat dan berkeyakinan bahwa tidak semua ayat Alquran yang berkenaan dengan hukum itu masih berlaku, sebab di antara ayat-ayat tersebut sudah ada yang dinasakh.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Na>sakh dan Mansu>kh
Membahas mengenai na>sakh tidak dapat terlepas dari dua sudut pandang, yaitu dari sisi etimologi dan terminologi. Sebelum membahas lebih dalam, hendaknya dipahami bahwa na>sakh jika di tilik dari sisi kata asal dari dua kata, yaitu na>sakh dan mansu>kh.
Sedangkan na>sakh secara etimologi memiliki arti yaitu:
1.      Menghilangkan :[2]
Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata: نسخت الشمس الظل cahaya matahari menghilangkan bayang-bayang ”. dan seperti firman Allah dalam surat al-Haj ayat 52 : فينسخ الله ما يلقى الشيطانmaka Allah menghilangkan apa yang syaitan nampakkkan
2.      Memindahkan
نسخت الكتا ب. ومنه قوله تعالى (  إ نا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون )
Saya memindahkan ( menyalin ) apa yang ada dalam buku
Dari segi Istilah, kata na>sakh berarti mengangkat, menghapus hukum syara' dengan dalil hukum syara' yang lain. Na>sakh juga dipakai dalam beberapa arti antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu sisi ke sisi lain ataupun pengubahan dan sebagainya.[3]
Sedangkan mansu>kh dari sisi etimologi adalah sesuatu yang diangkat, dibatalkan, dipindahkan dan dihapus, inilah sekedar pemabacaan dasar. Sedangkan secara terminologi, para ulama berbeda pendapat, sebagaimana ulama mutaqaddimi>n memperluas arti nasakh, sehingga mencakup :
1.      Membatalkan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
3.      Penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
4.      Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
Ada diantara para ulama yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh kondisi tertentu telah menjadi mansu>kh apabila ada ketentuan lain.[4] Sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.
Sedangkan ulama muta’akhiri>n mempersempit pengertian mansu>kh, menurut mereka mansu>kh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Namun apabila di pahami lagi secara terminologi, sebagaimana pemahaman Quraish iha>b; nasakh  ialah pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain . Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur’a>n tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat di jalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.[5]
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qaṭṭan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
a.      Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi.
b.     Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di nāsakh dan ayat yang Di mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
c.      Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

B.  Perbedaan Na>sakh, Takhi, Bada’
Nashiruddin Baidan membedakan antara nasakh dengan takhsis dengan sebagai berikut:
1. Na>sakh
a. Satuan yang terdapat dalam na>sakh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh
b. Na>sakh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh
c. Na>sakh hanya terjadi dengan dalil yang datang duluan
d. Na>sakh menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas
e. Setelah terjadi na>sakh, seluruh satuan yang terdapat dalam na>sakh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh
2. Takhi
a. Satuan yang terdapat dalam takhimerupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafad’amm
b. Takhimerupakan hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm
c.  Takhi dapat terjadi baik dengan yang kemudian maupunmenyertai dan mendahului
d. Takhi tidak menghapus hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkan
e. Setelah terjadi takhi, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm
Sedangkan bada’ mempunyai arti الظهور بعد الخفاء (menampakkan setelah tersembunyi),[6] hal ini tersirat dalam firman Allah surat Jāthiyyah ayat 33:
وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا عَمِلُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُون
Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan apa yang mereka kerjakan
Arti lain dari bada’ adalah نشأة رأي جديد لم يكن موجود (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Pengertian ini, merujuk pada firman Allah surat Yusuf ayat 35:
ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا رَأَوُا الْآَيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ
Kemudian timbul pikiran dalam diri mereka setelah melihat tanda-tanda kebenaran Yusuf bahwa mereka harus memenjarakannya sampai suatu waktu.

Dari kedua definisi tersebut, dapat dilihat perbedaan yang sangat jelas dengan hakikat nāsikh. Dalam bada’ timbulnya hukum tentang kemungkinan munculnya hukum baru disebabkan ketidak tahuan sang pembuat hukum tentang kemungkinan munculnya hukum baru tersebut. Ini tentu berbeda dengan nāsikh, sebab dalam nāsikh, bagi para ulama mengakui keberadaan Allah at yang maha mengetahui adanya nāsikh dan mansukh senjak jaman azali, dimana sebelum diturunkan kepada manusia.[7]

C.  Ragam Na>sakh dalam Al-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, na>sakh dalam al-Qur’a>n    terbagi empat macam yaitu:[8]
1. Na>sakh s}a>rih}, ialah naskh yang jelas tentang berakhirnya atau berubahnya suatu hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat shalat, dimana pada awalnya menghadap ke baital maqdis dan pada akhirnya diubah menghadap ke Ka’bah. (QS. 2:150).
2. Na>sakh D{imni> (implisit), yaitu jika terdapat dua teks yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui bahwa turunnya tidak sekaligus pada waktu tertentu, maka ayat yang datang kemudian mengganti ayat yang terdahulu. Mislanya QS: 2:234 tentang iddah isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, yakni empat bulan sepuluh hari, ayat tersebut menaskh QS: 2:240 tentang wasiat suami terhadap isteri, bahwa ia tidak boleh keluar rumah selama satu tahun.
3. Na>sakh Kulli>, yaitu penggantian atau pembatalan terhadap teks hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya pembatalan wajibnya wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat (QS: 2:180) oleh ayat mawa>rith (QS: 4:11-14).
4. Na>sakh Juz'i>, yaitu penggantian atau pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu . Contoh hukum delapan puluh kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi.
و الذين يرمون المحصنت ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمنين ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون.[9]
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka  buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Ketentuan ini diganti dengan ketentuan li'an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh. Akan tetapi bentuk-bentuk contoh ini kalau ditelaah lebih mendalam bukanlah nasakh dalam arti yang sebenarnya, namun lebih cenderung terhadap bentuk takhs}i>s} atau taqy>id. Sebagaimana bentuknya: 
و الذين يرمون أزواجهم و لم يكن لهم  شهداء الا انفسهم فشهادة أحدهم أربع شهادت بالله إنه لمن الصد قين.[10]
 Dan orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.
Sedangkan dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi na>sakh kepada tiga macam, yaitu :[11]
  1. Na>sakh terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang tergolong kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya, riwayat al-Bukha>ri> dan Muslim, yaitu hadis ‘A<’ishah r.a yang mengatakan :
((كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات يحرمن فنسخن بخمس معلومات)). فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم ((وهن مما يقرأ من  القرآن)).
Sebagaimana yang diturunkan (ayat al-Qur’a>n) kepadanya adalah sepuluh rad}a'a>t (isapan menyusui) yang diketahui, kemudian di na>sakh dengan lima (isapan menyusui) yang diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat lima susuan ini termasuk sebagian dari al-Qur’a>n yang dibaca.
2.   Na>sakh terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. semisal ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrik pada umat Islam untuk saling bergantian dalam beribadah telah dihapus oleh ketentuan ayat qita>l. Akan tetapi bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat al-Ka>firu>n:6, sebagaimana berikut :
لكم دينكم و لي دين[12]
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku

3.   Nasakh terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku
Adapun dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nas}, para ulama membagi nāsakh ke dalam empat macam yaitu :
a)      Nāsakh al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n. Nāsakh seperti ini ulama sepakat akan kebolehannya.
b)      Nāsakh al-Qur’a>n dengan al-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, nasakh semacam ini diperbolehkan bila sunnah yang menghapusnya berkedudukan mutawa>tir atau mashhu>r.
c)      Nāsakh al-Sunnah dengan al-Qur’a>n. Menurut ahli us}u>l, nāsakh semacam ini betul-betul terjadi seperti peralihan kiblat dalam salat dari Bait al-Muqaddas ke Ka'bah.
Nasakh al-Sunnah dengan al-Sunnah. Bagi al-Qat}t}a>n pada dasarnya ketentuan nasakh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.[13] Fokus pembahasan ini ialah mengenai Naskh al-Hukm Dun al-Tilawah, yaitu persoalan ada atau tidaknya perubahan hukum dari satu ayat dengan ayat lain, ketika ayat tersebut terpisah dalam proses al-Nuzul-nya.
Nairuddin Baidan mengutip pendapatnya Abu Zahra, memberikan syarat bagi nas yang dapat dinasakh dan mansukh[14] yaitu antara lain :
a. Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’ ayat 59: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c. Dalil atau ayat yang di mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan

D.  Pendapat Ulama Tentang Na>sakh dan Mansu>kh
Persoalan Nāsikh dalam al-Qur’an ini, bermula dari pemahaman ayat “seandainya al-Qur’an ini datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan kontradiksi yang sangat banyak”. (QS. al-Nisa ; 82). Ayat ini ingin mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara satu ayat dengan yang lainnya. Sementara di tempat lain, al-Qur’an mengatakan “setiap ayat yang kami nasikh atau yang kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, tentu kami ganti dengan yang lebih baik padanya atau yang sebanding dengannya” (QS. al-Baqarah : 106).
Abu Muslim al-Asyfahani, menolak anggapan bahwa ayat yang sepintas kotradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-mansukh. Lantas ia, mengajukan proyek takhsis sebagai antitesa Nasikh-Mansukh. Menurutnya al-Qur’an adalah syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada yang mansukh. “Tidak datang kepadanya kebatilan al-Qur’an baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS. al-Fushilat : 42). Artinya, jika sekiranya didalam al-Qur’an terdapat ketentuan yang telah di-nasakh, maka sebagian hukum ayat al-Qur’an juga akan dibatalkan. Sementara syari’at dalam al-Qur’an itu bersifat kekal. Karena ia berlaku sepanjang masa.
Fakhru al-razi dan Muhammad ‘Abduh, juga termasuk yang memandang bahwa istilah Nasikh-Mansukh tidak terdapat dalam al-Qur’an. Alasan mereka disandarkan pada ayat al-Qur’an “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat–Nya”. (QS. al-Kahfi : 27). Hanya kemudian, Muhammad ‘Abduh menggunakan istilah tabdil, penggantian, pengalihan, atau pemindahan ayat hukum ditempat ayat hukum yang lain, bukan nasakh dalam pengertian pembatalan.
Sementara itu, sebagaian Ulama’ berkeyakinan bahwa didalam al-Qur’an terdapat pembatalan hukum, Nasikh-Mansukh. Ibn Jarir menafsirkan ayat “dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya”, sebagai “Kami angkat ia, lalu Kami turunkan lainnya”. Sedangkan al-Syuyuti mengartikannya sebagai “Allah menurunkan perkara dalam al-Qur’an kemudian mengangkatnya”.
Ibn Katsir menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menafikan Nasikh-Mansukh, karena ia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja sesuai dengan keinginan-Nya. Hal ini, pula ditegaskan oleh Quraish Shihab, bahwa Allah tidak me-nasakh dalam arti membatalkan suatu hukum yang dikandung oleh satu ayat, kecuali Allah akan mendatangkan ayat lain yang mengandung hukum lain yang lebih baik atau serupa.
Berbeda dengan yang lain, al-abaaba’i mengatakan bahwa pertentangan antara dua na dalam nāsakh pada dasarnya merupakan pertentangan lahir, bukan pertentangan yang hakiki (esensi). Alasan al-abaaba’i ini didasarkan pada al-Qur’an Surat al-Nisa ; 82. Ia menegaskan Nasakh pada dasarnya bukan termasuk (yang terjadi karena) pertentangan dalam perkataan (qawl), dan ia juga tidak (terjadi karena) pertentangan (ikhtilaf) dalam pandangan hukum, melainkan terjadi karena pertentangan dalam muṣadaq (kriteria) dari segi dapat diterapkannya hukum pada suatu hari, karena adanya mahslahat didalamnya. Dan dari segi tidak dapat diterapkannya pada suatu hari yang lain karena bergantinya kemashlahatan dari kemashlahatan yang lain yang mewajibkan hukum yang lain pula”. Oleh karena itu, al-abaaba’i beranggapan bahwa nasakh pada dasarnya tidak hanya khusus terdapat pada hukum-hukum syari’at, melainkan juga dapat terjadi terhadap takwiniyyah (persoalan-persoalan kosmo).
Para ulama dalam menanggapi hal tersebut terbagi atas empat golongan :[15]
1.      Orang Yahudi. Mareka tidak mengakui adanya nasakh, karena menurut mereka naskh mengandung konsep al-bada>’, yakni kelihatan setelah tidak tampak (tidak jelas) dan hal ini mustahil bagi Tuhan.
2.      Orang Si’ah Rafidah, Mereka terlalu over dalam menetapkan nasakh dan memberikan pemahaman terlalu luas tanpa ada batasan. Bahan rujukan dari argumentasi mereka adalah ungkapan yang dinisbahkan kepada ‘Ali> r.a secara dusta dan palsu.[16] Mereka juga berpegang pada firman Allah Q.S al-Ra'd, ayat 39, yakni :
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَاب
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat ummu al-kitab (lawh mahfu>z}).[17]
3.      Abu> Muslim al-As}fahani>, Secara logika beliau menerima nasakh tetapi dalam syara' tidak. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam al-Qur’a>n  berdasarkan firman-Nya dalam Q.S Fus}s}ila>t ayat 42, yakni:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيد
Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.[18]
4.      Jumhur ulama. Mereka berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi dalam hukum-hukum syara’.
Di antara tokoh yang menolak adanya nāsakh adalah ‘Ali> bin Husain bin Muhammad yang dikenal dengan nama Ibnu Farj al-As}fahani yang menegaskan bahwa al-Qur’an tidak sedikitpun tersentuh oleh pembatalan, jika nasakh itu diartikan dengan pembatalan maka jelas tidak ada dalam al-Qur’a>n. Adapun dalil-dalil yang dijadikan bahan rujukan dalam al-Qur’a>n diperlukan adanya reinterpretasi, sebab didalamnya terkandung berbagai konotasi dan dalil-dalil tersebut bisa saja dita’wil sesuai konteks ayat-ayat sesudah dan sebelumnya.[19]
Sedangkan Muhammad Abdu>h sedikit berbeda dalam memahami naskh, yaitu dengan memberikan pemahaman tabdi>l (penggantian) dan tah}wi>l (mengubah) serta al-Naql (memindahkan). Hal ini sesuai dengan pengertian naskh secara etimologi. Atas dasar inilah al-Asfahanī lebih suka menyebut naskh dengan istilah takhs}i>s} (pengkhususan) meskipun ulama pendukung naskh tidak menyetujuinya.


BAB III
KESIMPULAN

Dengan berdasarkan pemaparan diatas dapat diberikan kesimpulan yaitu bahwa :
Nasakh secara etimologi adalah iza>lat (menghilangkan), tabdi>l (menukar), tah}wi>l (mengubah) dan al-Naql (memindahkan), Sedangkan secara terminologi adalah menghapus, mengganti, serta membatalkan hukum syara dengan dalil hukum yang lain yang lebih kuat. Sedangkan metode untuk mengetahui na>sakh dan mansu>kh antara lain : a) keterangan tegas dari nabi, b) kesepakatan ulama tentang ayat ini na>sakh dan yang lainnya mansu>kh, c) mengetahui mana yang lebih dahulu turun dalam perspektif historiy.
Dilihat dari segi ragam nāsakh terbagi atas s}a>rih, z}imni>, kulli> dan juz’i>. Dalam bentuknya nāskh terbagi tiga, yakni hukum dan bacaan secara bersamaan, hukumnya saja serta bacaanya saja. Jenis nāskh secara terperinci, yakni al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n, al-Qur’a>n dengan al-sunnah, al-sunnah dengan al-Qur’a>n dan al-sunnah dengan al-sunnah. Sedangkan Para ulama dalam menanggapi permasalan nāskh, ada yg menerima ada yg menolan dan ada yg memperincinya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi>, Ah}mad Must}afa>, Tafsi>r al-Maraghi>. Mesir: Al-Halabi>, 1946. Vol.1
Al-Qat}t}a>n, Manna>’ Khali>l, Maba>h}ith fi> ‘U>lu>m al-Qur’a>n. Riya>d}: Manshura>t al-‘As}r al-Hadi>th, 1973.
Al-Zarqani>, Muh}ammad Abd Az}i>m, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n. Libanon: Dar al-Kutub al-Qutaybah, tt. Vol.1.
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Zain, Muh}ammad Jami>l, Kayfa Nafham al-Qur’a>n terj. Salafuddin A.J, Bagaimana Memahami al-Qur’a>n Pustaka al-Kauthar.
Anwar, Abu, ‘Ulum al-Qur'an Sebuah Pengantar, Amzah, 2005.
ash-Shidieqy, Hasbi, Ilm-ilmu Al-Qur’an Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an Bandung: Mizan, 1993.        
Baidan, Nashiruddin, Ulum Qur’an Bandung: Pustaka Setia, 2006.



[1] QS. Al-Nisa: 82

[2]Abu Anwar, ‘Ulum al-Qur'an Sebuah Pengantar, Cet II (Amzah, 2005), 48.
[3] Hasbi ash-Shidieqy, Ilm-ilmu Al-Qur’an Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 149.
[4]Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqani>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulum al-Qur'a>n.Vol.2. (Mesir: Dar Qutaybah, t.t ), 254.
[5]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an  (Bandung: Mizan, 1993), 144.                      
[6] Nashiruddin Baidan, Ulum Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 174.
[7] Ibid., 175.
[8]Shihab, Membumikan Al-Qur'an, 172-173
[9]Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Madinah Munawwarah: Mujamma' al-Malik Fah}d li T{iba'a>t al Mus}haf, 1426 H), Q.S. al-Nu>r ( 24 ) ayat 4
[10]Ibid, Q.S. al-Nur (24) ayat 6
[11]Al-Qat}t}a>n, Manna>’ Khali>l, Maba>h}ith fi> ‘U>lu>m al-Qur’a>n, 238-239
[12]Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Pentafsir Al-Qur’an, 1971), 1112
[13]Al-Qat}t}a>n, Manna>’ Khali>l, Maba>h}ith fi> ‘U>lu>m al-Qur’an, 236-237
[15]Al-Qat}t}a>n, U>lu>m al-Qur’an, 234-236
[16]Tentang dialog seorang qa>d}i> dengan sekumpulan orang, yang kemudian dikeritik oleh ‘Ali> ra. lewat sebuah pertanyaan tentang pemahaman akan keilmuan tentang nasakh.
[17]Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Pentafsir al-Qur’a>n, 1971), 376
[18] Ibid, 779
[19]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 177-178

Tidak ada komentar:

Posting Komentar