Jumat, 12 Oktober 2012

SEPUTAR TENTANG TAFSIR

SEPUTAR TENTANG TAFSIR
A.  Pengertian Tafsir
            Tafsir secara bahasa mengikuti wazan taf’il, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap, menampakkan, atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan daraba-yadribu dan nasara-yansuru. Kata al-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan atau menyingkap yang tertutup.[1]
            Sebagian ulama berpendapat, kata tafsir adalah kata kerja yang terbalik, berasal dari kata safara yang berarti menyingkap (al-kasyf). Menurut al-Raghib al-Asfahani, kata al-fasr dan as-safr adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafadnya, tetapi yang pertama untuk menjelaskan sebuah konsep atau makna yang memerlukan penalaran (al-ma’na al-manqul) atau menunjukkan arti menampakkan (men-zahir-kan) makna yang ma’qul (abstrak), sedang yang kedua untuk menampakkan benda kepada pengelihatan mata.[2]
            Dalam lisan al-Arab dinyatakan bahwa kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata al-tafsir berarti menyingkap sesuatu lafad yang muskil atau pelik.[3]
            Sedangkan, al-Dzahabi mengartikan dengan al-Idhah wa Tabyin, yakni penjelasan atau keterangan, sebagaimana dalam surat al-Furqon ayat 33.[4] Pengarang al-Majmu al-Wasith mengemukakan bahwa tafsir bermakna menjelaskan (wadhaha), membuka sesuatu yang tertutup, atau mengungkapkan maksud yang dikehendaki suatu lafal yang muskil.[5]
            Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat al-Quran atau kitab suci lain sehingga lebih jelas maksudnya. Jadi tafsir ialah penjelasan keterangan terhadap maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat al-Quran.[6]
            Sebagaimana tinjauan bahasa, menurut Abd al-Khalid, para ulama juga berbeda pendapat tentang pengertian tafsir menurut istilah, masing-masing pendapat saling melengkapi satu sama lainnya. Pendapat-pendapat tersebut dapat ditinjau dari arti tafsir secara sempit dan luas.[7]
1.      Dalam arti sempit, tafsir adalah menerangkan ayat-ayat al-Qur’an dari segi lafad-lafadnya, i’rab-nya, susunannya, sastranya, dan isyarat-isyarat ilmiah. Pengertian tafsir semacam ini lebih menitik beratkan pada penerapan kaidah-kaidah bahasa daripada penafsiran atau penjelasan kehendak Allah beserta petunjuk-petunjukNya.
2.      Dalam arti luas, tafsir bertujuan menjelaskan petunjuk-petunjuk al-Qur’an, ajaran-ajarannya, hukum-hukumnya, dan hikmah Allah di dalam mensyariakan hukum-hukum tersebut kepada umat manusia dengan cara yang menarik hati, membuka jiwa, dan mendorong orang untuk mengikuti petunjukNya. Pengertian inilah yang kemudian disebut dengan tafsir.
Menurut Ibnu Hayyan –sebagaimana dikutip oleh al-Qattan-, tafsir secara istilah adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafad-lafad al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri ataupun ketika tersusun, dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[8]
            Menurut Thameem Ushama, tafsir secara istilah yaitu pemahaman secara komprehensif tentang kitab Allah yang diwahyukan kepada Muhammad saw. dan penjelasan makna yang dalam, menggali hukum-hukumnya, mengambil hikmah  selanjutnya disebut dengan penafsiran.[9]

B.  Macam-macam Tafsir
            Tafsir terbagi dalam dua kategori, yakni tafsir yang terpuji (mamdudah) dan tafsir yang tercela (mazdmumah).[10]
1.      Tafsir yang terpuji (mamdudah).
Tafsir mamdudah ialah tafsir al-Qur’an yang didasarkan dari ijtihad yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan. Tafsir ini sesuai dengan peraturan bahasa Arab.[11] Karena tafsir ini tergantung kepada metodologi yang tepat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan fikirannya, dengan memenuhi persyaratan dan bersandarkan kepada makna-makna al-Qur’an, penafsiran seperti itu dibolehkan dan dapat diterima. Tafsir semacam ini layak disebut tafsir yang terpuji atau sah.
2.      Tafsir yang tercela (mazdmumah).
Tafsir mazdmumah adalah tafsir yang tanpa dibarengi dengan pengetahuan yang benar, yaitu tafsir yang didasarkan hanya kepada keinginan seseorang dengan mengabaikan peraturan dan persyaratan tata bahasa Arab seta kaidah-kaidah hukum Islam. Selanjutnya tafsir ini merupakan penjelasan kalam Allah atas dasar pikiran atau aliran yang sesat dan penuh dengan inovasi (bid’ah) yang menyimpang. Tafsir semacam ini disebut dengan tafsir yang tercela atau tafsir palsu.[12]

C.  Aliran-Aliran Tafsir
            Dalam pengklasifikasian kelompok-kelompok atau aliran-aliran tafsir, para pakar peneliti tafsir berbeda pendapat.[13] Diantaranya yaitu :
1.      Kategorisasi aliran-aliran tafsir menurut Ignaz Goldziher
Menurut Ignaz Goldziher, aliran-aliran dalam menafsirkan al-Quran terbagi menjadi lima aliran, yaitu:[14]
a)      Aliran al-tafsir bi al-ma’tsur. Yaitu penafsiran dengan bantuan Hadis dan perkataan Sahabat.
b)      Aliran al-tafsir fi dhau’i al-aqidah. Yaitu tafsir dalam perspektif teologi, atau penafsiran yang bersifat dogmatis.
c)      Aliran al-tafsir fi dhau’i at-tasawuf al-Islami. Yaitu tafsir dalam perspektif sufistik.
d)     Aliran al-tafsir fi dhau’i firaq ad-diniyyah. Yaitu tafsir dalam perspektif sektarian atau aliran-aliran teologi.
e)      Aliran al-tafsir fi dhau’i at-tamaddun al-Islami. Yaitu tafsir dalam perspektif gerakan pembaharuan Islam, atau tafsir modernis.
2.      Kategorisasi aliran-aliran tafsir menurut J.J. G Jansen
Menurut J.J G Jansen, aliran-aliran dalam menafsirkan al-Quran terbagi menjadi tiga aliran, yaitu:[15]
a)      Aliran tafsir ilmiah. Yaitu yang dipengaruhi oleh pengadopsian temuan-temuan ilmiah mutakhir.
b)      Aliran tafsir linguistik dan filologis. Yaitu tafsir yang di dalamnya menggunakan analisis linguistik dan pendekatan filologi.
c)      Aliran tafsir praktis. Yaitu tafsir yang terkait dengan persoalan keseharian umat.
3.      Kategorisasi aliran-aliran tafsir menurut Husain adz-Dzahabi
Menurut adz-Dzahabi, aliran-aliran dalam menafsirkan al-Quran terbagi menjadi tiga aliran, yaitu:[16]
a)      Aliran tafsir masa Nabi dan Sahabat.
b)      Aliran tafsir masa Tabi’in
c)      Aliran tafsir masa kodifikasi.
Kodifikasi ini muncul pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, awal pemerintahan Bani Abbasiyyah. Pada masa ini, tafsir-tafsir sudah mulai dibukukan.

4.      Kategorisasi aliran-aliran tafsir menurut Amina Waduh
Menurut Amina waduh, aliran-aliran dalam menafsirkan al-Quran terbagi menjadi tiga aliran, yaitu:[17]
a)      Aliran tafsir tradisional. Yaitu tafsir dengan menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti hukum (fiqh), nahwu dan saraf, sejarah, tasawuf dan lain sebagainya.
b)      Aliran tafsir reaktif. Yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’an.
c)      Tafsir holistik. Yaitu tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengkaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik –termasuk isu-isu perempuan- yang muncul di era modern.

D.  Sumber Tafsir
Sumber-sumber tafsir mengandung arti adanya faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan atau pegangan dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an.[18] Ia dapat digunakan sebagai penjelas, perbendaharaan, dan perbandingan dalam menafsirkan.
Menurut Yudhi Munadi, sumber-sumber penafsiran al-Qur’an terbagi menjadi tiga, yaitu:[19]
1.      Wahyu
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa sumber tafsir pada masa Nabi adalah wahyu. Kata wahyu mempunyai dua arti, pertama berarti al-ilha’, kedua berarti al-muha bih. Menurut pengertian bahasa, al-ilha’ adalah memberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat. Sedang menurut pengertian istilah, adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum-Nya, berita-berita dan cerita-cerita-Nya dengan cara yang samar tetapi meyakinkan kepada Nabi yang bersangkutan, bahwa yang diterimanya adalah benar-benar dari-Nya. Sedangkan al-muha bih berarti yang diwahyukan, artinya al-Qur’an dan sunnah Nabi, tetapi dari segi makna atau jiwanya datang dari Allah. Karena itu, dilihat dari pengertiannya, wahyu juga mencakup Hadis-hadis Nabi. [20]
Sebagian ulama mengatakan bahwa sumber penafsiran al-Qur’an ialah tafsir bi al-ma’tsur, yakni menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabi, menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan Sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitab Allah dari pada golongan sesudahnya, atau -sebagian pendapat ada yang mengatakan- menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan tabi’in, karena pada umumnya mereka menerima dari sahabat.[21]
2.      Ra’yu (akal)
Penafsiran bi al-ra’yu ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata.[22]
3.      Isra’iliyyat
Secara istilah, isra’iliyyat ialah sebuah cerita yang dikisahkan dari sumber isra’ily. Isra’iliyyat dinisbatkan kepada Bani Israil, yakni Ya’kub dan Ishaq bin Ibrahim, yang mempunyai keturunan dua belas.[23]
Bagi Sahabat, Ahli Kitab dianggap memiliki pemahaman yang lebih baik dan lebih luas wawasannya terhadap kitab-kitabnya (Taurat dan Injil). Maka dari itu, tidaklah mengherankan apabila keterangan-keterangan  Ahli Kitab oleh sebagian Sahabat dijadikan sumber untuk menafsirkan al-Qur’an.[24]
Di samping pembagian sumber-sumber penafsiran al-Qur’an sebagaimana pendapat di atas, Thameem Ushama menambahkan satu sumber penafsiran bagi al-Qur’an yaitu tafsir bi al-isyari. Menurut sebagian ulama, tafsir bi al-isyari ialah penafsiran makna-makna al-Qur’an yang mengabaikan makna lahirnya. Disebutkan juga bahwa penafsiran semacam ini bersumber dari indikasi (isyarat) yang dapat diterima oleh sebagian orang yang sadar dan berpengetahuan atau tampak bagi orang yang memiliki akhlak terpuji dan melawan hawa nafsu mereka. Pikiran atau wawasan mereka telah diilhami atau disinari oleh Allah, sehingga mereka seakan-akan telah mampu melakukan dan merealisasikan rahasia-rahasia al-Qur’an. Tafsir bi al isyari bukanlah ilmu perolehan yang biasa diperoleh melalui penelitian dan belajar, tetapi ilmu yang diberikan langsung oleh Allah dengan jalan intuisi mistik melalui dzikir yang terus menerus kepada-Nya.[25]



[1] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), 455-456.
[2] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), 5.
[3] Abu al-Fadha’il Jamal al-Din Muhammad ibn Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, tt), 55
[4] Moh. Husein al-Dzahabi, al- Tafsir wa al-Mufassirun, (Nasyr: Tuzi’, 2005), 17.
[5]Abd. Muin Salim, Berbagai Aspek-Aspek Metodologi Tafsir al-Qur’an, (Ujung Pandang: Lembaga Studi Kebudayaan Islam, 1990), 1.
[6] Nashiruddin Baidan, Wawasan Baru ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 67.
[7] Abd. Kholid, Kuliah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2007), 2-3.
[8] Al-Qattan, Studi Ilmu…, 456.
[9] Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’an; Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif, terj Hasan Basri, Amroeni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), 4.
[10] Ibid., 15
[11] Muhammad bin Muhammad Abu Shahbah, Al-Isra’iliyyat wa al-Mawduat fi Kutub al-Tafsir, (Cairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), 81-82.
[12] Ibid.
[13] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasih hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005), 19-27.
[14] Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, terj M. Alaika Salamullah, dkk.(Beirut: Dar-Iqra’, 1983).
[15]J.J. G Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997). 8-9.
[16]Muhammad Husein adz-Dzahabi, al-Mufassirun....., 97-98.
[17]Amina Waduh Muhsin, Qur’an and Women, (New York: Oxford University Press, 1998), 128.
[18]Salim, Berbagai Aspek…, 67.
[19]M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), 94-103.
[20]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Cet IV, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), 7.
[21]Al-Qattan, Studi Ilmu…, 482-483.
[22]Ibid., 488.
[23]Ahmad syadali, Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 238.
[24]Salim, Berbagai Aspek…, 73.
[25]Ushama, Metodologi Tafsir…,  24-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar