Kamis, 25 April 2013

ILMU MUHKAM DAN MUTASHABIH



Oleh: 
MOH. ALI WASIK
IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
 
BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Al-Qur’a>n, selain merupakan wahyu, juga merupakan bagian kehidupan umat yang dapat membukakan mata hati dalam diri setiap insan. Firman Allah tersebut sudah dipandang sebagai kehidupan itu sendiri dan tidak semata-mata kitab biasa. Layaknya sebuah kehidupan, untuk dapat memahami biasanya diperlukan alat bantu yang kadang kala tidak mudah dalam memahaminya.
Oleh sebab itu diperlukan sebuah keilmuan untuk mempelajari dan  mengkaji isi dan pesan al-Qur’a>n. Ulum al-Qur’a>n merupakan sekumpulan ilmu terkait dengan berbagai metode dalam memahami al-Qur’a>n. Salah satu persoalan dalam Ulum al-Qur’a>n yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah pemaknaan muhkam  dan mutasha>bih. Telaah dan perdebatan seputar masalah ini telah mengisi khasanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran al-Qur’a>n. Perdebatan tersebut tidak hanya melibatkan sarjana-sarjana muslim saja, akan tetapi sarjana-sarjana Barat pun ikut mewarnainya.
Makalah ini berusaha membedah berbagai pemaknaan para ulama terhadap ayat-ayat yang muhkam dan mutasha>bih.

B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai wujud keingintahuan terhadap cabang ilmu ini. Adapun hal-hal tersebut adalah;
1.    Apakah yang dimaksud dengan muhkam dan mutasha>bih?
2.    Mengapa masalah muhkam dan  mutasha>bih itu muncul?
3.    Apa  macam-macam dari ayat-ayat mutasha>bih}a>t itu?
4.    Bagaimana pendapat para ulama tentang ayat-ayat mutasha>bih}a>t tersebut?
5.    Apa sajakah hikmah yang dapat diambil dengan adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasha>bih}a>t?
6.    Apa implikasi muhkam dan  mutasha>bih terhadap hukum?

C.   TUJUAN MASALAH
Dari rumusan masalah di atas, maka makalah ini memiliki tujuan, diantaranya adalah:
1.    Untuk mengetahui definisi muhkam dan mutasha>bih.
2.    Untuk mendapatkan informasi tentang kapan munculnya masalah muhkam dan  mutasha>bih.
3.    Untuk mengetahui macam-macam dari ayat-ayat mutasha>bih}a>t.
4.    Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang ayat-ayat mutasha>bih}a>t tersebut.
5.    Untuk mengetahui hikmah yang dapat diambil dengan adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasha>bih}a>t.
6.      Untuk mengetahui implikasi muhkam dan  mutasha>bih terhadap hukum.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Muhkam dan Mutasha>bih}
kata Muhkam, secara etimologis berasal dari kata Ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan[1]. Sedangkan secara terminology muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.
Namun, semua pengertian ini pada dasarnya kembali pada makna pencegahan. Ahka>m al-amr berarti ia menyempurnakan sesuatu hal dan mencegahnya dari kerusakan[2]. Dengan pengertian ini, maka al-Qur’a>n seluruhnya dapat dikatakan muhkam, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam QS. Hud:1
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِير[3]
Artinya: “Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun secara rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”

Apabila dikaitkan dengan ayat di atas, maka dapat dikatakan bahwa semua ayat-ayat al-Qur’a>n itu disusun secara rapi dan kokoh. Sedikitpun tidak ada celah untuk mengritiknya dari sudut manapun, baik kata-kata, penempatan kalimat, maupun susunan kalimatnya sangat rapidean kokoh.
Adapun kata mutasha>bih berasal dari kata dasar sha>baha, yang berarti kemiripan, keserasian dan kesamaan (al-tama>thul), juga mengandung berbagai konotasi yang biasanya membawa kepada ketidakpastian atau ragu (iltiba>s)[4].
Para ulama, pada umumnya mengartikan mutasha>bih dengan persamaan dan kesamaan yang mengarah kepada keserupaan dan kemiripan. Dengan pengertian ini, maka al-Qur’a>n seluruhnya dapat dikatakan mutasha>bih, jika yang dimaksud adalah kesamaan tingkatan ke-i’jazan dalam kefasihan bahasa, sehingga karena kesamaan ke-i’jazannya itu sulit untuk diterangkan kelebihannya masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al-Zumar ayat 23:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ .....[5]
Artinya: “Allah yang menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Qur’a>n yang mutasha>bih dan berulang-ulang karenanya bergetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka.......”
Menurut Nashruddin Baidan, berdasarkan pengertian bahasa di atas, maka tampak kepada kita bahwa kedua istilah tersebut secara lughawi tidak bertentangan, malah sebaliknya saling mendukung[6].
Dalam diskursus ‘Ulu>m al-Qur’a>n, pengertian muhkam dan mutasha>bih bukan yang termaktub dalam dua ayat di atas. Diskursus muhkam  dan mutasha>bih dalam ‘Ulu>m al-Qur’a>n termaktub dalam QS. Ali ‘Imra>n ayat 7.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ.[7]
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan al-Kita>b (al-Qur’a>n) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkama>t, Itulah pokok-pokok isi al-Qur'a>n dan yang lain (ayat-ayat) mutasha>bih}a>t. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasha>bih}a>t daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasha>bih}a>t, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.

Secara sepintas, ketiga ayat ini menimbulkan pemahaman yang bertentangan. Karena itu, Jalal al-Suyu>t}i mengutip dari Ibn Habi>b al-Naisa>bu>ri menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah ini. Pertama, pendapat bahwa al-Qur’a>n seluruhnya muhkam berdasarkan ayat yang pertama. Kedua, berpendapat bahwa al-Qur’a>n seluruhnya mutasha>bih berdasarkan ayat kedua. Ketiga, berpendapat bahwa sebagian ayat al-Qur’a>n adalah muhkam dan lainnya mutasha>bih berdasarkan ayat ketiga, dan inilah pendapat yang lebih sahih[8].
Sedangkan menurut Ibn ’Abba>s, muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasha>bih adalah ayat yang mengandung banyak pengertian[9]. Lain halnya dengan Al- Zarqa>ni yang mengemukakan bahwa muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. sedangkan mutasha>bih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara ‘aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal- awal surat[10].
Jadi, Muhkam ialah ayat yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena susunannya tepat, dan tidak mushkil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga dapat diamalkan karena tidak di-nasakh.
Sedangkan pengertian Mutasha>bih  ialah ayat yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia karena multi ta’wil.

B.   Sebab-Sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’a>n
Penyebab terjadinya tasha>buh  dalam al-Qur’a>n adalah karena adanya ketersembunyian maksud. Dalam hal ini termasuk:[11]
a.         Ketersembunyian pada lafad, contoh:
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا . مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُم[12]
Artinya: “Dan buah-buahan serta rumput-rumputan,Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”(Q.S. ‘Abasa: 31-32).
Lafad  وَأَبًّا  dalam ayat di atas terasa ganjil dan jarang digunakan, karena ayat tersebut diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat 32.
b.    Ketersembunyian pada makna
Dalam hal ini, biasanya ayat-ayat mutasha>bih}a>t tentang sifat-sifat Tuhan seperti:
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِم[13]
Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka” (Q.S. Al-Fath: 10)
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى[14]
Artinya:  al-Rahma>n bersemayam di atas ‘Arsh (Q.S. T{a>ha: 5).
Dari dua contoh ayat di atas, pertama, kata “tangan” yang dijadikan sifat bagi Allah. Kata itu menunjukkan anggota yang layak bagi makhluk baharu, tetapi dalam ayat tersebut kata itu dibangsakan kepada Allah yang bersifat qodim, maka sulit dipahami maksud sebenarnya.
Kedua, kata “bersenayam di atas ‘Arsh” yang memilki makna secara d}a>hir berarti Allah berada di suatu tempat.
c.    Ketersembunyian pada lafad dan makna
Ruang lingkup ketiga ini, adalah kekaburan maksud ayat dilihat dari sudut lafad dan maknanya sekaligus. Menurut al-Raghib al-Is}faha>ni, kekaburan tersebut dapat dilihat dari lima aspek,  yaitu kuantitas, kualitas, waktu, tempat dan persyaratan sah atau batalnya suatu perbuatan[15].
Ditinjau dari segi kalimat, seperti umum dan khusus, misalnya uqt}ul al-mushriki>na, dari segi cara, seperti wujub dan nadb, misalnya, fankih}u> ma> t}a>ba lakum min al-nisa>’, dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh, misalnya, ittaqullaha h}aqqa tuqa}tihi, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu dilakukan bangsa Arab. Seperti, وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا (dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya), segi syarat-syarat yang mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti syarat-syarat salat dan nikah.

C.  Macam-Macam Ayat-Ayat Mutasha>bih}a>t
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat mutasha>bih}a>t dalam Al-Qur’a>n, maka ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:[16]
1.      Ayat-ayat mutasha>bih}a>t  yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. Contohnya, seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan hal-hal ghaib lainnya. Seperti keterangan ayat 59 surah Al-An’am:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ .......[17]
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri.”
Dan seperti isi ayat 34 surah Lukman:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ......[18]
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”
2.      Ayat-ayat mutasha>bih}a>t yang dapat diketahui oleh semua orang maksudnya. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan pembahasan dan pengkajian/penelitian yang mendalam. Contohnya, ayat-ayat mutasha>bih}a>t yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya.
Jadi, dalam menyikapi ayat-ayat ini adalah merinci yang mujmal, menentukan yang mushtarak, men-qayid-kan yang mut}lak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ.......[19]
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi.”
3.      Ayat-ayat mutasha>bih}a>t yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua orang. Ahmad Syadzali dalam bukunya mengatakan bahwa tipe yang ketiga ini lebih spesifik lagi. Ia menyatakan bahwa maksud ayat-ayat tersebut hanya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Jadi bukan semua ulama apalagi orang awam yang dapat mengetahui maksudnya.
Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 7:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ .......[20]
Artinya: “Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya”
Dalam pengertian yang sama, al-Raghib al-As}fahani memberikan penjelasan yang mirip. Menurut dia, ayat-ayat mutasha>bih}a>t terbagi menjadi tiga jenis, yaitu jenis yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu kiamat, keluarnya da>bbah (binatang), dan sebagainya; jenis yang dapat diketahui manusia seperti lafad-lafad yang ganjil (ghari>b) dan hukum yang tertutup, dan jenis yang hanya diketahui oleh ulama tertentu yang sudah mendapat ilmu. Jenis terakhir inilah yang diisharatkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu ‘Abbas:[21]
اَللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.”

D.  Pendapat Ulama tentang Ayat-Ayat Mutasha>bih}a>t
Pada dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasha>bih}a>t dalam al-Qur’a>n dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman atas firman Allah SWT. dalam al-Qur’a>n Surah Ali ‘Imra>n ayat 7.
Subh}i al-Sha>lih membedakan pendapat para ulama ke dalam dua madhh}ab, yaitu[22]:
1.      Madhh}ab Salaf (menerima tanpa takwil)
Yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasha>bih}a>t ini dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Para Ulama Salaf mengharuskan kita ber-waqaf (berhenti) dalam membaca QS. Ali imran : 7 pada lafad Jalalah.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Hal ini memberikan pengertian bahwa hanya Allah yang mengerti takwil dari ayat-ayat mutasha>bih}a>t yang ada.
2.      Madhh}ab Khalaf (menerima dengan takwil)
Yaitu orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafad yang mustahil z}ahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah.
Dalam memahami QS. Ali-Imran : 7 madhh}ab ini mewaqafkan bacaan mereka pada lafad “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”. Hal ini memberikan pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-ayat mutasha>bih adalah Allah dan orang-orang yang Ra>sikh (mendalam) dalam ilmunya. Madhh}ab ini disebut juga Madhh}ab Muawwilah atau Madhh}ab Takwil.
Berikut ini adalah beberapa contoh sifat-sifat mutasha>bih yang menjadikan perbedaan pendapat antara madhh}ab Salaf dan madhh}ab Khalaf:
a.       Lafad “Ístawa” pada al-Qur’a>n surah Thaha ayat 5. Allah berfirman:
Artinya: “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsh.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa pencipta langit dan bumi ini adalah Allah Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsh.
Menurut madhh}ab Salaf, arti kata Istiwa’ sudah jelas, yaitu bersemayam (duduk) di atas ‘Arsh (tahta). Namun tata cara dan kafiatnya tidak kita ketahui dan diharuskan bagi kita untuk menyerahkan sepenuhnya urusan mengetahui hakikat kata Istiwa’ itu kepada Allah sendiri.
Pernah ditanyakan kepada Imam Malik tentang makna Istiwa’[23], maka beliau menjawab:
اَلاِسْتِوَاءُ مَعْلُوُمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَاَظُنُّكَ رَجُلُ السُّوْءِ اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ
Artinya: “Istiwa’ itu ma’lum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya adalah bid’ah (mengada-ada). Saya kira engkau ini adalah orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.”
Berkata Ibnu Kathir dalam tafsirnya, bahwa jalan yang paling selamat mengenai hal ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh ulama salaf karena hal ini sepenuhnya adalah termasuk wewenang Allah semata-mata dan tidak dibenarkan sama sekali makhluk campur tangan[24].
Sedangkan madhh}ab Khalaf  memberikan pemaknaan terhadap lafad Istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan[25].
b.      Lafad “yadun”  pada al-Qur’a>n surah al-Fath ayat 10. Allah berfirman:
Atinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka.”
Pada ayat di atas terdapat lafad yadun yang secara bahasa berarti tangan. Para ulama salaf  mengartikan sebagaimana adanya dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Sedangkan ulama Khalaf memaknai lafad yadun dengan “kekuasaan” karena tidak mungkin Allah itu mempunyai tangan seperti halnya pada makhluk.
c.       Lafad Ainun pada Al-Qur’a>n surah Thaha ayat 39. Allah berfirman:
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي
Artinya: “ dan supaya kamu dibawah pengawasanku.”
Lafad Ainun dari segi lafz}iyyah mempunyai arti mata. Menurut madhh}ab khalaf, lafad Ainun  dalam ayat di atas bermakna pengawasan Allah kepada Nabi Musa yang dihanyutkan di Sungai Nil pada masa Raja Fir’aun.
Adapun contoh yang lain terdapat dalam QS.Al-Fajr : 22, QS. Al-An’am : 61, QS. Al-Zumar : 56, QS. Al-Rahman : 27, QS.Ali-Imran: 28. Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata “datang”, “di atas”, “sisi”, “wajah”, dan “diri” yang dijadikan sifat bagi Allah. Namun, ulama khalaf memaknai kata-kata tersebut sebagai: “kedatangan perintah-Nya”, “Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat”, “hak”, “zat”,dan ”siksa”.

E.   Pembuka Awal Surat (Fawatih al-Suwar)
Sebelum kita membahas tentang Fawatih al-Suwar, ada baiknya terlebih dahulu kita bersama-sama mengetahui apa yang dimaksud dengan Fawatih al-Suwar  itu sendiri.
Fawatih al-Suwar adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surat dalam al-Qur’a>n, ia merupakan bagian dari ayat Mutasha>bih karena ia bersifat mujmal (global), mu’awwal (memerlukan takwil), dan musykil (sukar dipahami). Di dalam al-Qur’a>n terdapat huruf-huruf  awalan dalam pembukaan surah dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu ciri kebesaran Allah dan ke MahatahuanNya[26].
Al-Suyut}i dalam kitabnya menjelaskan dengan mengutip pendapat Ibnu al-Mundhir dan yang lainnya, al-Mundhir meriwayatkan dari Sha’bi> bahwa dia ditanya tentang pembukaan-pembukaan surat. Maka dia berkata, “sesungguhnya setiap kitab memiliki rahasia dan rahasia al-Qur’a>n adalah permulaan-permulaan surat itu[27].
Adapun untuk memperjelas lagi apa yang di maksud Fawatih al-Suwar, maka dengan ini kami tampilkan ayat-ayatnya sebagai berikut[28]:
Awalan surah yang terdiri dari satu huruf, ini terdapat pada tiga surah.
Surah S<ad. ص. وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْر
Surah Qaf.  ق. وَالْقُرْآنِ الْمَجِيد
Surah Al Qolam. ن. وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُون
Awalan surah yang terdiri dari dua huruf, ini terdapat pada sepuluh surah :
Surah Ghafir. حم
Surah Fuss}ilat. حم
Surah al-Shu>ra. حم
Surah al-Zukhruf. حم
Surah al-Dukha>n. حم
Surah al-Ja>thiah. حم
Surah al-Ahqa>f. حم
Surah T{a>ha. طه
Surah al-Naml. طس
Surah Yasin. يس
Tujuh dari sepuluh surah di atas, ini dinamakan Hawwaamiim (jamak dari h}a> mi>m, yaitu surah-surah yang diawali dengan huruf h}a> dan mi>m)[29].
Awalan surah yang terdiri dari tiga huruf, ini terdapat pada tiga belas surah, yaitu :
Enam surah diawali Alif La>m Mi>m (الم)
Surah al-Baqarah, Surah Ali ‘Imra>n, Surah al-‘Ankabu>t, Surah al-Ru>m, Surah Luqma>n, Surah al-Sajadah.
Lima surah diawali dengan Alif La>m Ra> (الر)
Surah Yu>nus, Surah Hu>d, Surah Yu>suf, Surah Ibra>hi>m, Surah al-Hijr.
Dua surah yang diawali dengan T{a> Si>n Mi>m (طسم)
Surah al-Shu’ara>’ dan Surah al-Qas}as}
Awalan surah yang terdiri dari empat huruf, ini terdapat pada dua tempat, yaitu :
Surah al-A’ara>f. المص dan Surah al-Ra’du. المر
Awalan surah yang terdiri dari lima huruf, ini hanya terdapat pada surah Maryam, yaitu : كهيعص .
Dari ketiga belas ayat-ayat Fawatih al-Suwar yang tersebut di atas, terdapat keterangan yang penulis kutip dari al-Itqa>n, sebagaimana berikut[30]:
Abi Hatim dan yang lainnya meriwayatkan dari jalur Abi al-D{uha dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah “الم dia berkata:  أنا الله أعلمaku Allah Lebih mengetahui”. Pada firman Allah المص dia berkata: أنا الله أفصلAku, Allah, yang memutuskan”. Pada firman Allah المر dia berkata:  أنا الله أرى Aku, Allah, melihat”.
Ibnu Abi Ha>tim meriwayatkan dari jaur al-Suddi dari Abu Malik dari Abu S{alih dari Ibn ‘Abbas dan dari Murrah dari ibnu Mas’ud dan beberapa orang sahabat tentang firman Allah كهيعص bahwa dia telah berkata, “itu adalah huruf-huruf hijaiyah yang diputus-putus, huruf kaf  dari kata al-Maliku (raja), ha’  dari kata Allah, ya’ dan ‘ain dari kata al-‘Azi>z (yang mulia), dan s}a>d dari kata al-Mus}awwir (tempat bergantung)”. Demikian sebagian pemaknaan atau takwil terhadap Fawatih al-Suwar  yang penulis kutip dari al-Itqan.
Dan masih banyak lagi pendapat dari ulama yang menafsirkan ayat Fawatih al-Suwar,  seperti Salim Ibnu Abdillah, al-Saddiy, al-Baid}a>wi dan lain-lain. Akan tetapi disini, penulis hanya menampilkan pendapat Ibnu ‘Abbas, karena menurut kami dia memang patut mendapatkan anugerah yang luar biasa. Karena ia bisa mentakwilkan ayat Mutasha>bihat. Kemampuan yang dia miliki juga karena berkat do’a Rasulullah SAW.

F.   Implikasi Muhkam dan Mutasha>bih terhadap Hukum
Ayat-ayat mutasha>bih, selain berimplikasi terhadap pemahaman teologi, juga terhadap berbagai sektor pemahaman keagamaan, seperti akhlak-tasawuf, sosial dan juga hukum atau fikih.
Dalam sub bab ini, penulis hanya membatasi pada implikasi terhadap hukum saja. Yaitu, beragamnya pemaknaan terhadap ayat-ayat yang mutsha>bih, juga berimplikasi terhadap perbedaan pendapat para ulama madhhab terkait dengan hukum.
Para ulama berselisih tentang pemaknaan terhadap QS. al-Maidah: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ[31]
Ayat di atas ditafsirkan berbeda oleh para ulama, yakni tentang batasan mengusap kepala saat wud}u’. Abu Hani>fah dan al-Sha>fi’i berpendapat akan bolehnya mengusap sebagian kepala, karena Nabi pernah hanya mengusap ubun-ubun beliau ketika berwud}u. Selain itu huruf ب yang terdapat dalam ayat (بِرُؤُوْسِكُمْ) bisa bermakna “sebagian”[32].
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad mewajibkan mengusap seluruh kepala. Mereka memberikan alasan bahwa demikianlah yang ada dalam hadits-hadits yang s}ahi>h dan hasan.
Perbedaan pemahaman di atas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan ayat al-Qur’a>n, sehingga perbedaan tersebut berimplikasi terhadap pemahaman hukum. Demikian hanya satu contoh saja yang dapat kami kemukakan terkait dengan implikasi ayat mutsha>bih terhadap hukum.

G.  Hikmah Adanya Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasha>bih}a>t
a.    Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
Adapun hikmah yang terkandung didalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasha>bih adalah sebagai berikut:
1.      Hikmah adanya ayat Muhkam adalah tidak adanya perselisihan pendapat mengenai cara pentakwilannya, adanya kesepakatan paham, tidak membuat orang menjadi syubhat, ragu-ragu, dan sesat. Dan serta menjadi suatu alat untuk bisa mentakwilkan ayat-ayat Mutasha>bihat.
2.      Menjadi rahmat bagi umat manusia, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Karena, mereka tidak perlu susah-susah mempelajari apa arti maksud ayat itu.
3.      Memudahkan manusia dalam menghayati dan mengetahui makna maksudnya sehingga mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Karena, lafad ayat-ayatnya sudah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
4.      Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya.
5.      Memperlancar usaha penafsiran kandungan ayat-ayat al-Qur’a>n.
6.      Membantu para guru, dosen, muballigh, dan juru dakwah dalam usaha menerangkan isi ajaran al-Qur’a>n dan tafsiran ayat-ayatnya kepada masyarakat.
7.      Mempercepat usaha Tahfiz} al-Qur’a>n (menghafalkan ayat-ayat al-Qur’a>n). Sebab, ayat yang mudah diketahui artinya itu lebih mudah penghafalannya daripada yang tidak diketahui arti maksudnya.

b.    Hikmah Ayat-Ayat Mutasha>bih}a>t
Adanya ayat-ayat mutasha>bih}a>t dalam al-Qur’a>n membawa faedah/ hikmah yang banyak juga. Bahkan, lebih banyak daripada hikmah ayat-ayat muhkamat di atas. Adapun hikmahnya adalah sebagai berikut;
1.      Hikmah pada ayat Mutasha>bih menurut al-Suyu>t}i di dalam kitab al-Itqan, beliau berkata : Ayat-ayat Mutasha>bihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya[33].
2.      Ayat-ayat Mutasha>bihat ini, untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya dengan memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, balaghah, grametika, ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqh dan lain sebagainya.
3.      Memperlihatkan kelemahan akal manusia
4.      Dan memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikan dan dirasakan.
5.      Sebagai rahmat Allah SWT. Hal ini jelas sekali, karena jika tidak disamarkan, bisa jadi merupakan siksaan bagi mereka, terutama mereka yang tidak tahan menz}ahirkannya.
6.      Ujian dan cobaan terhadap kekuatan iman umat manusia.
7.      Mendorong umat untuk giat belajar, tekun menalar, dan rajin meneliti.
8.      Memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’a>n, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT[34].
9.      Memudahkan orang dalam memahami Al-Qur’a>n. Sebab, adanya ayat-ayat yang mutasha>bih}a>t tersebut pasti mendorong seseorang untuk serius menghadapinya. Sehingga, dengan sendirinya akan lebih meresapkan hasil-hasil usahanya itu yang pada gilirannya dapat mempermudah segalanya.
10.  Menambah pahala umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasha>bih}a>t. Sebab, semakin sukar kerjaan orang, akan semakin besar pahalanya.
11.  Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Sebab, adanya ayat-ayat mutasha>bih}a>t dalam al-Qur’a>n, mendorong orang-orang yang akan mempelajarinya harus lebih dahulu mempelajari beberapa disiplin ilmu yang terkait dengan berbagai isi ajaran Al-Qur’a>n yang bermacam-macam. Seperti Ilmu matematika, bahasa, kimia, fisika, dan sebagainya.

BAB III
KESIMPULAN

Dari definisi-definisi tentang muhkam dan mutasha>bih di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa muhkam adalah suatu lafad yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri serta mudah dipahami.
Sedangkan mutasha>bih adalah suatu lafad yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan sulit bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam.
Adapun penyebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’a>n adalah ketersembunyian dalam makna dan lafad. Sedangkan macam-macam ayat mutasha>bih ada tiga; pertama, ayat yang tidak dapat diketahui artinya kecuali oleh Allah. Kedua, ayat yang dapat diketahui artinya dengan jalan pembahasan. Ketiga, ayat yang dapat diketahui artinya oleh ulama tertentu.
Pandangan ulama mengenai ayat-ayat mutasha>bih}a>t  yang dapat dipahami manusia secara umum atau tidak ada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan ayat-ayat mutasha>bih}a>t dapat diketahui oleh umat manusia, dan ulama yang lain mengatakan bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya.
Di antara hikmah ayat-ayat muhkamat adalah memberi rahmat pada manusia, khususnya orang yang bahasa Arabnya lemah, memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya juga memudahkan mereka menghayati makna maksudnya agar mudah melaksanakan ajaran-ajarannya. Sedangkan hikmah dari ayat-ayat mutasha>bih}a>t salah satunya adalah menambah pahala usaha umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasha>bih, sebab semakin sukar pekerjaan seseorang maka akan semakin besar jugalah pahalanya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’a>n al-Karim. Kudus: Menara Kudus, 1974.
al-Zarqa>ni, Muhammad ‘Abd al-‘Az}i>m, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’a>n. Bairut: Dar al-Fikr, 1996.
Syadali, Ahmad dkk., Ulumul Quran I. Bandung: Pustaka setia, 2000, cet.II.
al-Za>wi, al-T{a>hir Ahmad, Tarti>b al-Qa>mu>s al-Muhi>t.} Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
Baidan, Prof. Dr. Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
al-Suyu>t}i, Jalal al-Din, al-Itqa>n fi ‘Ulum al-Qura>n. Bairut: Dar al-Fikr, 1979.
Panggabean, Syamsu Rizal, “Makna Muhkam dan Mutasha>bih”, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, 1990.
al-Qatt}a>n, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Litera Antar Nusa, 2004, Cet. 8.
al-Is}faha>ni, al-Raghib, al-Mufrada>t fi al-Ghari>b al-Qur’a>n. Mesir: Mus}t}afa al-Bab al-H{alabi>, t.th.
Djalal, Abdul H.A., Ulumul Quran.  Surabaya: Dunia Ilmu, 2000, cet.II.
al-S{alih, Subh}i, Maba>h}ith fi ‘Ulum al-Qur’a>n. Bairut: Dar al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1997.
al-Damshiqi, Abu al-Fida>’ Isma>’il bin ‘Umar bin Kathi>r al-Qurashi, Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Kairo: Dar al-Hadi>th, 2003.
Anwar, Abu, Ulu>mul Qur’an; Sebuah Pengantar . Pekanbaru: Amzah, 2005, cet. II.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta : Bulan Bintang, 1995.
al-S}a>bu>ni, Muhammad ‘Ali, Tafsir Ayat al-Ahka>m min al-Qur’a>n al-Ka>rim. Bairut: Dar Ibn ‘Ass}a>s}ah, 2010.


[1] Muhammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’a>n (Bairut: Dar al-Fikr, 1996), Juz II, 194.
[2] Ibid., lihat juga Ahmad syadali dkk., Ulumul Quran I (Bandung: Pustaka setia, 2000), cet.II, 199.
[3] Al-Qur’a>n (13): 1.
[4] Al-T{a>hir Ahmad al-Za>wi, Tarti>b al-Qa>mu>s al-Muhi>t} (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), 685.
[5] Al-Qur’a>n (41): 23.
[6] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 154.
[7] Al-Qur’a>n (3): 7.
[8] Jalal al-Din al-Suyu>t}i, al-Itqa>n fi ‘Ulumul Qura>n  (Bairut: Dar al-Fikr, 1979), Juz II, 2.
[9] Syamsu Rizal Panggabean, “Makna Muhkam dan Mutasha>bih”, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, 1990, 47. Lihat juga: Manna’ Khalil al-Qatt}a>n, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Bogor: Litera Antar Nusa, 2004), Cet. 8, 306.
[10] al-Zarqa>ni, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’a>n, Juz II, 195.
[11] Ahmad Syadali dkk., Ulumul Quran I, 204-206.
[12] Al-Qur’a>n (80), 31-32.
[13] Ibid., (48), 10.
[14] Ibid., (20), 5.
[15] Al-Raghib al-Is}faha>ni, al-Mufrada>t fi al-Ghari>b al-Qur’an (Mesir: Mus}t}afa al-Bab al-H{alabi>, t.th.), 255.
[16] Abdul Djalal H.A., Ulumul Quran  (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), cet.II, 243.
[17] Al-Qur’an (6), 59
[18] Ibid., (31), 34.
[19] Ibid., (4), 3.
[20] Ibid., (3), 7.
[21] Ahmad Syadali, Ulumul Quran I, 208.
[22] Subh}i al-S{alih, Maba>h}ith fi ‘Ulum al-Qur’a>n (Bairut: Dar al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1997), 284.
[23] al-Zarqa>ni, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’a>n, Juz II, 207.
[24] Abu al-Fida>’ Isma>’il bin ‘Umar bin Kathi>r al-Qurashi al-Damshiqi, Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Kairo: Dar al-Hadi>th, 2003), 177.
[25] Ahmad Syadali, Ulumul Quran I, 217.
[26] Abu Anwar, Ulu>mul Qur’an; Sebuah Pengantar  (Pekanbaru: Amzah, 2005), cet. II, 89.
[27] Jalal al-Suyu>t}i, al-Itqa>n fi ‘Ulumul Qura>n, II, 21.
[28] Abu Anwar, 89-91.
[29] Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), 124.
[30] Jalal al-Suyu>t}i, al-Itqa>n fi ‘Ulumul Qura>n, II, 21.
[31] al-Qur’a>n (5), 6.
[32] Muhammad ‘Ali al-S{a>bu>ni, Tafsir Ayat al-Ahka>m min al-Qur’a>n al-Ka>rim (Bairut: Dar Ibn ‘Ass}a>s}ah, 2010), juz I, 385.
[33] Jalal al-Suyu>t}i, al-Itqa>n fi ‘Ulumul Qura>n, II, 30.
[34] Ibid.

1 komentar:

  1. If you're looking to lose weight then you have to try this totally brand new personalized keto plan.

    To create this service, licensed nutritionists, fitness trainers, and cooks united to develop keto meal plans that are efficient, suitable, price-efficient, and satisfying.

    From their launch in January 2019, 100's of clients have already completely transformed their figure and health with the benefits a professional keto plan can provide.

    Speaking of benefits: in this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones offered by the keto plan.

    BalasHapus