Oleh:
MOH. ALI WASIK
IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Al-Qur’a>n,
selain merupakan wahyu, juga merupakan bagian kehidupan umat yang dapat
membukakan mata hati dalam diri setiap insan. Firman Allah tersebut sudah
dipandang sebagai kehidupan itu sendiri dan tidak semata-mata kitab biasa.
Layaknya sebuah kehidupan, untuk dapat memahami biasanya diperlukan alat bantu
yang kadang kala tidak mudah dalam memahaminya.
Oleh sebab itu diperlukan sebuah keilmuan untuk
mempelajari dan mengkaji isi dan pesan al-Qur’a>n.
Ulum al-Qur’a>n merupakan sekumpulan ilmu terkait dengan berbagai metode
dalam memahami al-Qur’a>n. Salah satu persoalan dalam Ulum al-Qur’a>n
yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah pemaknaan muhkam dan mutasha>bih. Telaah dan
perdebatan seputar masalah ini telah mengisi khasanah keilmuan Islam, terutama
menyangkut penafsiran al-Qur’a>n. Perdebatan tersebut tidak hanya melibatkan
sarjana-sarjana muslim saja, akan tetapi sarjana-sarjana Barat pun ikut
mewarnainya.
Makalah ini berusaha membedah berbagai pemaknaan para
ulama terhadap ayat-ayat yang muhkam dan mutasha>bih.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
pemaparan di atas, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai
wujud keingintahuan terhadap cabang ilmu ini. Adapun hal-hal tersebut adalah;
1.
Apakah yang
dimaksud dengan muhkam dan mutasha>bih?
2.
Mengapa masalah
muhkam dan mutasha>bih itu muncul?
3.
Apa
macam-macam dari ayat-ayat mutasha>bih}a>t itu?
4.
Bagaimana
pendapat para ulama tentang ayat-ayat mutasha>bih}a>t tersebut?
5.
Apa sajakah
hikmah yang dapat diambil dengan adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasha>bih}a>t?
6.
Apa implikasi
muhkam dan mutasha>bih terhadap hukum?
C.
TUJUAN MASALAH
Dari rumusan masalah di atas, maka makalah ini memiliki
tujuan, diantaranya adalah:
1.
Untuk mengetahui
definisi muhkam dan mutasha>bih.
2.
Untuk
mendapatkan informasi tentang kapan munculnya masalah muhkam dan mutasha>bih.
3.
Untuk
mengetahui macam-macam dari ayat-ayat mutasha>bih}a>t.
4.
Untuk
mengetahui pendapat para ulama tentang ayat-ayat mutasha>bih}a>t tersebut.
5.
Untuk
mengetahui hikmah yang dapat diambil dengan adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasha>bih}a>t.
6.
Untuk
mengetahui implikasi muhkam dan mutasha>bih terhadap
hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Muhkam
dan Mutasha>bih}
kata Muhkam, secara
etimologis berasal dari kata Ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan,
keseksamaan, dan pencegahan[1].
Sedangkan secara terminology muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan
tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.
Namun, semua pengertian ini pada dasarnya kembali pada
makna pencegahan. Ahka>m al-amr berarti ia
menyempurnakan sesuatu hal dan mencegahnya dari kerusakan[2]. Dengan pengertian
ini, maka al-Qur’a>n seluruhnya dapat dikatakan muhkam, sebagaimana
yang ditegaskan oleh Allah dalam QS. Hud:1
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ
فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِير[3]
Artinya: “Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun
secara rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Tuhan
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”
Apabila dikaitkan dengan ayat di atas,
maka dapat dikatakan bahwa semua ayat-ayat al-Qur’a>n itu disusun secara
rapi dan kokoh. Sedikitpun tidak ada celah untuk mengritiknya dari sudut
manapun, baik kata-kata, penempatan kalimat, maupun susunan kalimatnya sangat
rapidean kokoh.
Adapun kata mutasha>bih berasal dari kata dasar
sha>baha, yang berarti kemiripan, keserasian dan kesamaan (al-tama>thul),
juga mengandung berbagai konotasi yang biasanya membawa kepada ketidakpastian
atau ragu (iltiba>s)[4].
Para ulama, pada umumnya mengartikan mutasha>bih
dengan persamaan dan kesamaan yang mengarah kepada keserupaan dan kemiripan.
Dengan pengertian ini, maka al-Qur’a>n seluruhnya dapat dikatakan mutasha>bih,
jika yang dimaksud adalah kesamaan tingkatan ke-i’jazan dalam kefasihan bahasa,
sehingga karena kesamaan ke-i’jazannya itu sulit untuk diterangkan kelebihannya
masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al-Zumar ayat 23:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ
الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ
يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ .....[5]
Artinya: “Allah yang menurunkan perkataan yang paling
baik yaitu Al-Qur’a>n yang mutasha>bih dan berulang-ulang karenanya
bergetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka.......”
Menurut Nashruddin Baidan, berdasarkan pengertian bahasa
di atas, maka tampak kepada kita bahwa kedua istilah tersebut secara lughawi
tidak bertentangan, malah sebaliknya saling mendukung[6].
Dalam diskursus ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
pengertian muhkam dan mutasha>bih bukan yang termaktub dalam
dua ayat di atas. Diskursus muhkam dan mutasha>bih dalam ‘Ulu>m al-Qur’a>n
termaktub dalam QS. Ali ‘Imra>n ayat 7.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا
تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا
بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ.[7]
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan al-Kita>b (al-Qur’a>n)
kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkama>t, Itulah
pokok-pokok isi al-Qur'a>n dan yang lain (ayat-ayat) mutasha>bih}a>t.
adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasha>bih}a>t daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasha>bih}a>t, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami". dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Secara sepintas, ketiga ayat ini menimbulkan pemahaman
yang bertentangan. Karena itu, Jalal al-Suyu>t}i mengutip dari Ibn Habi>b
al-Naisa>bu>ri menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah ini. Pertama,
pendapat bahwa al-Qur’a>n seluruhnya muhkam berdasarkan ayat yang
pertama. Kedua, berpendapat bahwa al-Qur’a>n seluruhnya mutasha>bih
berdasarkan ayat kedua. Ketiga, berpendapat bahwa sebagian ayat al-Qur’a>n
adalah muhkam dan lainnya mutasha>bih berdasarkan ayat ketiga,
dan inilah pendapat yang lebih sahih[8].
Sedangkan menurut Ibn ’Abba>s, muhkam adalah
ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasha>bih
adalah ayat yang mengandung banyak pengertian[9]. Lain halnya dengan
Al- Zarqa>ni yang mengemukakan bahwa muhkam ialah ayat yang jelas
maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. sedangkan mutasha>bih
ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara ‘aqli
maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahuinya,
seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal- awal
surat[10].
Jadi, Muhkam ialah ayat yang artinya dapat
diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena
susunannya tepat, dan tidak mushkil, karena pengertiannya masuk akal,
sehingga dapat diamalkan karena tidak di-nasakh.
Sedangkan pengertian Mutasha>bih ialah
ayat yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia karena multi
ta’wil.
B.
Sebab-Sebab
Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’a>n
Penyebab terjadinya tasha>buh dalam al-Qur’a>n adalah karena adanya
ketersembunyian maksud. Dalam hal ini termasuk:[11]
a.
Ketersembunyian
pada lafad, contoh:
Artinya: “Dan buah-buahan serta rumput-rumputan,Untuk
kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”(Q.S. ‘Abasa: 31-32).
Lafad وَأَبًّا
dalam ayat di atas terasa ganjil dan
jarang digunakan, karena ayat tersebut diartikan rumput-rumputan berdasarkan
pemahaman dari ayat 32.
b.
Ketersembunyian
pada makna
Dalam hal ini, biasanya ayat-ayat mutasha>bih}a>t
tentang sifat-sifat Tuhan seperti:
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِم[13]
Artinya:
“Tangan Allah di atas tangan mereka” (Q.S. Al-Fath: 10)
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى[14]
Artinya: al-Rahma>n bersemayam di
atas ‘Arsh (Q.S. T{a>ha: 5).
Dari dua contoh ayat di atas, pertama, kata
“tangan” yang dijadikan sifat bagi Allah. Kata itu menunjukkan anggota yang
layak bagi makhluk baharu, tetapi dalam ayat tersebut kata itu dibangsakan
kepada Allah yang bersifat qodim, maka sulit dipahami maksud sebenarnya.
Kedua, kata “bersenayam di atas ‘Arsh” yang
memilki makna secara d}a>hir berarti Allah berada di suatu tempat.
c.
Ketersembunyian
pada lafad dan makna
Ruang lingkup ketiga ini, adalah kekaburan maksud ayat
dilihat dari sudut lafad dan maknanya sekaligus. Menurut al-Raghib
al-Is}faha>ni, kekaburan tersebut dapat dilihat dari lima aspek, yaitu kuantitas, kualitas, waktu, tempat dan
persyaratan sah atau batalnya suatu perbuatan[15].
Ditinjau dari segi kalimat, seperti umum dan khusus,
misalnya uqt}ul al-mushriki>na, dari segi cara,
seperti wujub dan nadb, misalnya, fankih}u> ma> t}a>ba lakum min al-nisa>’, dari segi waktu,
seperti nasikh dan mansukh, misalnya, ittaqullaha h}aqqa tuqa}tihi, dari segi
tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan kata lain, hal-hal yang
berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu dilakukan bangsa
Arab. Seperti, وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا (dan bukanlah
kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya), segi
syarat-syarat yang mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti
syarat-syarat salat dan nikah.
C. Macam-Macam Ayat-Ayat Mutasha>bih}a>t
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat mutasha>bih}a>t
dalam Al-Qur’a>n, maka ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam,
yaitu:[16]
1. Ayat-ayat
mutasha>bih}a>t yang tidak dapat diketahui oleh seluruh
umat manusia, kecuali Allah SWT. Contohnya, seperti Dzat Allah SWT, hakikat
sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan hal-hal ghaib lainnya.
Seperti keterangan ayat 59 surah Al-An’am:
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang
ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri.”
Dan seperti isi
ayat 34 surah Lukman:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ
مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي
نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ......[18]
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah
pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”
2.
Ayat-ayat mutasha>bih}a>t
yang dapat diketahui oleh semua orang maksudnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
jalan pembahasan dan pengkajian/penelitian yang mendalam. Contohnya, ayat-ayat mutasha>bih}a>t yang
kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya.
Jadi, dalam menyikapi ayat-ayat ini adalah merinci yang
mujmal, menentukan yang mushtarak, men-qayid-kan yang mut}lak,
menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah Q.S.
An-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ.......[19]
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kalian senangi.”
3.
Ayat-ayat mutasha>bih}a>t
yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua
orang. Ahmad Syadzali dalam bukunya mengatakan bahwa tipe yang ketiga ini lebih
spesifik lagi. Ia menyatakan bahwa maksud ayat-ayat tersebut hanya dapat
diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Jadi bukan semua
ulama apalagi orang awam yang dapat mengetahui maksudnya.
Allah berfirman
dalam Surat Ali Imran ayat 7:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
.......[20]
Artinya: “Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya”
Dalam pengertian yang sama, al-Raghib al-As}fahani
memberikan penjelasan yang mirip. Menurut dia, ayat-ayat mutasha>bih}a>t
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu jenis yang tidak ada jalan untuk
mengetahuinya, seperti waktu kiamat, keluarnya da>bbah (binatang),
dan sebagainya; jenis yang dapat diketahui manusia seperti lafad-lafad yang
ganjil (ghari>b) dan hukum yang tertutup, dan jenis yang hanya
diketahui oleh ulama tertentu yang sudah mendapat ilmu. Jenis terakhir inilah
yang diisharatkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu ‘Abbas:[21]
اَللّهُمَّ
فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah dia seorang yang paham
dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.”
D.
Pendapat Ulama
tentang Ayat-Ayat Mutasha>bih}a>t
Pada dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam
menanggapi sifat-sifat mutasha>bih}a>t dalam al-Qur’a>n
dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman atas firman Allah SWT. dalam al-Qur’a>n
Surah Ali ‘Imra>n ayat 7.
Subh}i al-Sha>lih membedakan pendapat para ulama ke
dalam dua madhh}ab, yaitu[22]:
1.
Madhh}ab Salaf
(menerima tanpa takwil)
Yaitu
orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasha>bih}a>t
ini dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Para Ulama Salaf
mengharuskan kita ber-waqaf (berhenti) dalam membaca QS. Ali imran : 7 pada
lafad Jalalah.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ
أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ
زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Hal ini
memberikan pengertian bahwa hanya Allah yang mengerti takwil dari
ayat-ayat mutasha>bih}a>t yang ada.
2.
Madhh}ab Khalaf
(menerima dengan takwil)
Yaitu orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafad
yang mustahil z}ahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah.
Dalam memahami QS. Ali-Imran : 7 madhh}ab ini mewaqafkan
bacaan mereka pada lafad “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”. Hal ini memberikan
pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-ayat mutasha>bih
adalah Allah dan orang-orang yang Ra>sikh (mendalam) dalam ilmunya. Madhh}ab
ini disebut juga Madhh}ab Muawwilah atau Madhh}ab Takwil.
Berikut ini adalah beberapa contoh sifat-sifat mutasha>bih
yang menjadikan perbedaan pendapat antara madhh}ab Salaf dan madhh}ab Khalaf:
a.
Lafad “Ístawa”
pada al-Qur’a>n surah Thaha ayat 5. Allah berfirman:
Artinya: “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang
bersemayam di atas 'Arsh.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa pencipta langit dan bumi
ini adalah Allah Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsh.
Menurut madhh}ab Salaf, arti kata Istiwa’ sudah
jelas, yaitu bersemayam (duduk) di atas ‘Arsh (tahta). Namun tata cara dan
kafiatnya tidak kita ketahui dan diharuskan bagi kita untuk menyerahkan
sepenuhnya urusan mengetahui hakikat kata Istiwa’ itu kepada Allah
sendiri.
Pernah ditanyakan kepada Imam Malik tentang makna Istiwa’[23],
maka beliau menjawab:
اَلاِسْتِوَاءُ مَعْلُوُمٌ
وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَاَظُنُّكَ رَجُلُ
السُّوْءِ اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ
Artinya: “Istiwa’ itu ma’lum, caranya tidak diketahui,
mempertanyakannya adalah bid’ah (mengada-ada). Saya kira engkau ini adalah
orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.”
Berkata Ibnu Kathir dalam tafsirnya, bahwa jalan yang
paling selamat mengenai hal ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh ulama salaf
karena hal ini sepenuhnya adalah termasuk wewenang Allah semata-mata dan tidak
dibenarkan sama sekali makhluk campur tangan[24].
Sedangkan madhh}ab Khalaf memberikan pemaknaan terhadap lafad Istiwa’
dengan ketinggian yang abstrak berupa pengendalian Allah terhadap alam ini
tanpa merasa kepayahan[25].
b.
Lafad “yadun”
pada al-Qur’a>n surah al-Fath ayat 10. Allah berfirman:
Atinya: “Tangan Allah
di atas tangan mereka.”
Pada ayat di atas terdapat lafad yadun yang secara
bahasa berarti tangan. Para ulama salaf mengartikan sebagaimana adanya dan menyerahkan
hakikat maknanya kepada Allah. Sedangkan ulama Khalaf memaknai lafad yadun dengan
“kekuasaan” karena tidak mungkin Allah itu mempunyai tangan seperti halnya pada
makhluk.
c.
Lafad Ainun pada
Al-Qur’a>n surah Thaha ayat 39. Allah berfirman:
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي
Artinya: “ dan supaya kamu dibawah
pengawasanku.”
Lafad Ainun dari segi lafz}iyyah mempunyai arti
mata. Menurut madhh}ab khalaf, lafad Ainun dalam ayat di atas
bermakna pengawasan Allah kepada Nabi Musa yang dihanyutkan di Sungai Nil pada
masa Raja Fir’aun.
Adapun contoh yang lain terdapat dalam QS.Al-Fajr : 22,
QS. Al-An’am : 61, QS. Al-Zumar : 56, QS. Al-Rahman : 27, QS.Ali-Imran:
28. Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata “datang”, “di atas”, “sisi”,
“wajah”, dan “diri” yang dijadikan sifat bagi Allah. Namun, ulama
khalaf memaknai kata-kata tersebut sebagai: “kedatangan perintah-Nya”, “Maha
Tinggi, bukan berada di suatu tempat”, “hak”, “zat”,dan ”siksa”.
E.
Pembuka Awal Surat
(Fawatih al-Suwar)
Sebelum kita
membahas tentang Fawatih al-Suwar, ada baiknya terlebih dahulu kita
bersama-sama mengetahui apa yang dimaksud dengan Fawatih al-Suwar itu sendiri.
Fawatih al-Suwar adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan
surat dalam al-Qur’a>n, ia merupakan bagian dari ayat Mutasha>bih
karena ia bersifat mujmal (global), mu’awwal (memerlukan takwil), dan musykil
(sukar dipahami). Di dalam
al-Qur’a>n terdapat huruf-huruf awalan dalam pembukaan surah dalam bentuk yang
berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu ciri kebesaran Allah dan ke
MahatahuanNya[26].
Al-Suyut}i dalam
kitabnya menjelaskan dengan mengutip pendapat Ibnu al-Mundhir dan yang lainnya,
al-Mundhir meriwayatkan dari Sha’bi> bahwa dia ditanya tentang
pembukaan-pembukaan surat. Maka dia berkata, “sesungguhnya setiap kitab
memiliki rahasia dan rahasia al-Qur’a>n adalah permulaan-permulaan surat itu”[27].
Adapun untuk
memperjelas lagi apa yang di maksud Fawatih al-Suwar, maka dengan ini
kami tampilkan ayat-ayatnya sebagai berikut[28]:
Awalan surah yang
terdiri dari satu huruf, ini terdapat pada tiga surah.
Surah S<ad.
ص. وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْر
Surah Qaf. ق. وَالْقُرْآنِ
الْمَجِيد
Surah Al Qolam. ن. وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُون
Awalan surah yang
terdiri dari dua huruf, ini terdapat pada sepuluh surah :
Surah Ghafir. حم
Surah Fuss}ilat. حم
Surah al-Shu>ra.
حم
Surah al-Zukhruf. حم
Surah al-Dukha>n.
حم
Surah al-Ja>thiah.
حم
Surah al-Ahqa>f.
حم
Surah T{a>ha. طه
Surah al-Naml. طس
Surah Yasin. يس
Tujuh dari sepuluh
surah di atas, ini dinamakan Hawwaamiim (jamak dari h}a> mi>m,
yaitu surah-surah yang diawali dengan huruf h}a> dan mi>m)[29].
Awalan surah yang
terdiri dari tiga huruf, ini terdapat pada tiga belas surah, yaitu :
Enam surah diawali
Alif La>m Mi>m (الم)
Surah al-Baqarah,
Surah Ali ‘Imra>n, Surah al-‘Ankabu>t, Surah al-Ru>m, Surah Luqma>n,
Surah al-Sajadah.
Lima surah diawali
dengan Alif La>m Ra> (الر)
Surah Yu>nus,
Surah Hu>d, Surah Yu>suf, Surah Ibra>hi>m, Surah al-Hijr.
Dua surah yang
diawali dengan T{a> Si>n Mi>m (طسم)
Surah al-Shu’ara>’
dan Surah al-Qas}as}
Awalan surah yang
terdiri dari empat huruf, ini terdapat pada dua tempat, yaitu :
Surah al-A’ara>f.
المص
dan Surah al-Ra’du. المر
Awalan surah yang
terdiri dari lima huruf, ini hanya terdapat pada surah Maryam, yaitu : كهيعص
.
Dari ketiga belas
ayat-ayat Fawatih al-Suwar yang tersebut di atas, terdapat keterangan
yang penulis kutip dari al-Itqa>n, sebagaimana berikut[30]:
Abi Hatim dan yang
lainnya meriwayatkan dari jalur Abi al-D{uha dari Ibnu ‘Abbas tentang firman
Allah “الم”
dia berkata: أنا الله أعلم
“aku Allah Lebih mengetahui”. Pada firman Allah المص dia berkata: أنا الله أفصل
“Aku, Allah, yang
memutuskan”. Pada firman Allah المر dia berkata: أنا الله أرى “Aku, Allah, melihat”.
Ibnu Abi Ha>tim
meriwayatkan dari jaur al-Suddi dari Abu Malik dari Abu S{alih dari Ibn ‘Abbas
dan dari Murrah dari ibnu Mas’ud dan beberapa orang sahabat tentang firman
Allah كهيعص bahwa dia telah
berkata, “itu adalah huruf-huruf hijaiyah yang diputus-putus, huruf kaf dari kata al-Maliku (raja), ha’ dari kata Allah, ya’ dan ‘ain
dari kata al-‘Azi>z (yang mulia), dan s}a>d dari kata al-Mus}awwir
(tempat bergantung)”. Demikian sebagian pemaknaan atau takwil terhadap Fawatih
al-Suwar yang penulis kutip dari al-Itqan.
Dan masih banyak
lagi pendapat dari ulama yang menafsirkan ayat Fawatih al-Suwar, seperti Salim Ibnu Abdillah, al-Saddiy, al-Baid}a>wi
dan lain-lain. Akan tetapi disini, penulis hanya menampilkan pendapat Ibnu ‘Abbas,
karena menurut kami dia memang patut mendapatkan anugerah yang luar biasa.
Karena ia bisa mentakwilkan ayat Mutasha>bihat. Kemampuan yang dia
miliki juga karena berkat do’a Rasulullah SAW.
F.
Implikasi Muhkam
dan Mutasha>bih terhadap Hukum
Ayat-ayat
mutasha>bih, selain berimplikasi terhadap pemahaman teologi, juga terhadap
berbagai sektor pemahaman keagamaan, seperti akhlak-tasawuf, sosial dan juga
hukum atau fikih.
Dalam sub bab ini,
penulis hanya membatasi pada implikasi terhadap hukum saja. Yaitu, beragamnya
pemaknaan terhadap ayat-ayat yang mutsha>bih, juga berimplikasi terhadap
perbedaan pendapat para ulama madhhab terkait dengan hukum.
Para ulama berselisih tentang pemaknaan terhadap QS. al-Maidah: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ[31]
Ayat di atas
ditafsirkan berbeda oleh para ulama, yakni tentang batasan mengusap kepala saat
wud}u’. Abu Hani>fah dan al-Sha>fi’i berpendapat akan bolehnya mengusap
sebagian kepala, karena Nabi pernah hanya mengusap ubun-ubun beliau ketika berwud}u.
Selain itu huruf ب
yang terdapat dalam ayat (بِرُؤُوْسِكُمْ)
bisa bermakna “sebagian”[32].
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad mewajibkan mengusap seluruh
kepala. Mereka memberikan alasan
bahwa demikianlah yang ada dalam
hadits-hadits yang s}ahi>h dan hasan.
Perbedaan
pemahaman di atas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan ayat
al-Qur’a>n, sehingga perbedaan tersebut berimplikasi terhadap pemahaman
hukum. Demikian hanya satu contoh saja yang dapat kami kemukakan terkait dengan
implikasi ayat mutsha>bih terhadap hukum.
G.
Hikmah Adanya
Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasha>bih}a>t
a. Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
Adapun hikmah yang
terkandung didalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasha>bih adalah
sebagai berikut:
1.
Hikmah adanya ayat Muhkam adalah tidak adanya perselisihan
pendapat mengenai cara pentakwilannya, adanya kesepakatan paham, tidak membuat
orang menjadi syubhat, ragu-ragu, dan sesat. Dan serta menjadi suatu alat untuk
bisa mentakwilkan ayat-ayat Mutasha>bihat.
2.
Menjadi rahmat
bagi umat manusia, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Karena,
mereka tidak perlu susah-susah mempelajari apa arti maksud ayat itu.
3.
Memudahkan
manusia dalam menghayati dan mengetahui makna maksudnya sehingga mudah
mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Karena, lafad ayat-ayatnya sudah
mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
4.
Menghilangkan
kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya.
5.
Memperlancar
usaha penafsiran kandungan ayat-ayat al-Qur’a>n.
6.
Membantu para
guru, dosen, muballigh, dan juru dakwah dalam usaha menerangkan isi ajaran al-Qur’a>n
dan tafsiran ayat-ayatnya kepada masyarakat.
7.
Mempercepat
usaha Tahfiz} al-Qur’a>n (menghafalkan ayat-ayat al-Qur’a>n).
Sebab, ayat yang mudah diketahui artinya itu lebih mudah penghafalannya
daripada yang tidak diketahui arti maksudnya.
b. Hikmah Ayat-Ayat Mutasha>bih}a>t
Adanya ayat-ayat mutasha>bih}a>t dalam al-Qur’a>n
membawa faedah/ hikmah yang banyak juga. Bahkan, lebih banyak daripada hikmah
ayat-ayat muhkamat di atas. Adapun hikmahnya adalah sebagai berikut;
1.
Hikmah pada ayat Mutasha>bih menurut al-Suyu>t}i
di dalam kitab al-Itqan, beliau berkata : “Ayat-ayat Mutasha>bihat ini mengharuskan upaya
yang lebih banyak untuk mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi
orang yang mengkajinya”[33].
2.
Ayat-ayat Mutasha>bihat ini, untuk memahaminya
diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya dengan
memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, balaghah, grametika, ma’ani,
ilmu bayan, ushul fiqh dan lain sebagainya.
3.
Memperlihatkan
kelemahan akal manusia
4.
Dan memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia
melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikan dan dirasakan.
5.
Sebagai rahmat
Allah SWT. Hal ini jelas sekali, karena jika tidak disamarkan, bisa jadi merupakan
siksaan bagi mereka, terutama mereka yang tidak tahan menz}ahirkannya.
6.
Ujian dan
cobaan terhadap kekuatan iman umat manusia.
7.
Mendorong umat
untuk giat belajar, tekun menalar, dan rajin meneliti.
8.
Memperlihatkan
kemukjizatan Al-Qur’a>n, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar
manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa,
melainkan wahyu ciptaan Allah SWT[34].
9.
Memudahkan
orang dalam memahami Al-Qur’a>n. Sebab, adanya ayat-ayat yang mutasha>bih}a>t
tersebut pasti mendorong seseorang untuk serius menghadapinya. Sehingga, dengan
sendirinya akan lebih meresapkan hasil-hasil usahanya itu yang pada gilirannya
dapat mempermudah segalanya.
10.
Menambah pahala
umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasha>bih}a>t.
Sebab, semakin sukar kerjaan orang, akan semakin besar pahalanya.
11.
Mendorong
kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Sebab,
adanya ayat-ayat mutasha>bih}a>t dalam al-Qur’a>n, mendorong
orang-orang yang akan mempelajarinya harus lebih dahulu mempelajari beberapa
disiplin ilmu yang terkait dengan berbagai isi ajaran Al-Qur’a>n yang
bermacam-macam. Seperti Ilmu matematika, bahasa, kimia, fisika, dan sebagainya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari definisi-definisi tentang muhkam
dan mutasha>bih di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa muhkam
adalah suatu lafad yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat berdiri
sendiri serta mudah dipahami.
Sedangkan mutasha>bih adalah
suatu lafad yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan sulit bisa ditangkap
karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa jadi mengandung
pengertian arti yang bermacam-macam.
Adapun penyebab terjadinya tasyabuh dalam
Al-Qur’a>n adalah ketersembunyian dalam makna dan lafad. Sedangkan
macam-macam ayat mutasha>bih ada tiga; pertama, ayat yang
tidak dapat diketahui artinya kecuali oleh Allah. Kedua, ayat yang dapat
diketahui artinya dengan jalan pembahasan. Ketiga, ayat yang dapat
diketahui artinya oleh ulama tertentu.
Pandangan ulama mengenai ayat-ayat mutasha>bih}a>t
yang dapat dipahami manusia secara umum atau
tidak ada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan
ayat-ayat mutasha>bih}a>t dapat diketahui oleh umat manusia, dan
ulama yang lain mengatakan bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya.
Di antara hikmah ayat-ayat muhkamat
adalah memberi rahmat pada manusia, khususnya orang yang bahasa Arabnya lemah,
memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya juga memudahkan mereka
menghayati makna maksudnya agar mudah melaksanakan ajaran-ajarannya. Sedangkan
hikmah dari ayat-ayat mutasha>bih}a>t salah satunya adalah
menambah pahala usaha umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami
ayat-ayat mutasha>bih, sebab semakin sukar pekerjaan seseorang maka
akan semakin besar jugalah pahalanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’a>n al-Karim. Kudus: Menara
Kudus, 1974.
al-Zarqa>ni,
Muhammad ‘Abd al-‘Az}i>m, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’a>n. Bairut:
Dar al-Fikr, 1996.
Syadali, Ahmad dkk., Ulumul Quran I. Bandung: Pustaka setia,
2000, cet.II.
al-Za>wi, al-T{a>hir
Ahmad, Tarti>b al-Qa>mu>s al-Muhi>t.} Bairut: Dar al-Fikr,
t.th.
Baidan, Prof.
Dr. Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
al-Suyu>t}i, Jalal al-Din, al-Itqa>n fi
‘Ulum al-Qur’a>n. Bairut: Dar al-Fikr, 1979.
Panggabean, Syamsu
Rizal, “Makna Muhkam dan Mutasha>bih”, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan, 1990.
al-Qatt}a>n, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an. Bogor: Litera Antar Nusa, 2004, Cet. 8.
al-Is}faha>ni,
al-Raghib, al-Mufrada>t fi al-Ghari>b al-Qur’a>n. Mesir:
Mus}t}afa al-Bab al-H{alabi>, t.th.
Djalal, Abdul H.A., Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000, cet.II.
al-S{alih, Subh}i,
Maba>h}ith fi ‘Ulum al-Qur’a>n. Bairut: Dar al-‘Ilm li
al-Mala>yi>n, 1997.
al-Damshiqi, Abu
al-Fida>’ Isma>’il bin ‘Umar bin Kathi>r al-Qurashi, Tafsir
al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Kairo: Dar al-Hadi>th, 2003.
Anwar, Abu, ‘Ulu>mul Qur’an; Sebuah
Pengantar .
Pekanbaru:
Amzah, 2005, cet. II.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Ilmu-Ilmu
al-Qur’an. Jakarta : Bulan Bintang, 1995.
al-S}a>bu>ni,
Muhammad ‘Ali, Tafsir Ayat al-Ahka>m min al-Qur’a>n al-Ka>rim. Bairut: Dar Ibn ‘Ass}a>s}ah, 2010.
[1] Muhammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni, Manahil
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’a>n (Bairut: Dar al-Fikr, 1996), Juz II, 194.
[2] Ibid., lihat juga Ahmad syadali dkk., Ulumul Quran I (Bandung: Pustaka setia,
2000), cet.II, 199.
[9] Syamsu Rizal Panggabean, “Makna Muhkam dan
Mutasha>bih”, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, 1990, 47.
Lihat juga: Manna’ Khalil al-Qatt}a>n,
Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Bogor:
Litera Antar Nusa, 2004), Cet. 8, 306.
[10] al-Zarqa>ni, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum
al-Qur’a>n, Juz II, 195.
[13] Ibid., (48), 10.
[14] Ibid., (20), 5.
[15] Al-Raghib al-Is}faha>ni, al-Mufrada>t fi
al-Ghari>b al-Qur’an (Mesir: Mus}t}afa al-Bab al-H{alabi>, t.th.),
255.
[22] Subh}i al-S{alih, Maba>h}ith fi ‘Ulum al-Qur’a>n
(Bairut: Dar al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1997), 284.
[23] al-Zarqa>ni, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’a>n,
Juz II, 207.
[24] Abu al-Fida>’ Isma>’il bin ‘Umar bin Kathi>r
al-Qurashi al-Damshiqi, Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Kairo: Dar
al-Hadi>th, 2003), 177.
[29]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an (Jakarta : Bulan Bintang,
1995), 124.
[31] al-Qur’a>n (5), 6.
[32] Muhammad ‘Ali al-S{a>bu>ni, Tafsir Ayat al-Ahka>m min al-Qur’a>n al-Ka>rim (Bairut: Dar Ibn ‘Ass}a>s}ah, 2010), juz I, 385.
If you're looking to lose weight then you have to try this totally brand new personalized keto plan.
BalasHapusTo create this service, licensed nutritionists, fitness trainers, and cooks united to develop keto meal plans that are efficient, suitable, price-efficient, and satisfying.
From their launch in January 2019, 100's of clients have already completely transformed their figure and health with the benefits a professional keto plan can provide.
Speaking of benefits: in this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones offered by the keto plan.