FAKTOR-FAKTOR
PENTINGNYA PENELITITAN HADIS
A. Pendahuluan
Sumber ajaran Islam yang pokok adalah
al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan yang penting dalam kehidupan
umat Islam. Walaupun terdapat perbedaaan dari segi penafsiran dan aplikasi,
namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya dijadikan rujukan. Dari keduanya
ajaran Islam diambil dan dijadikan pedoman utama. Oleh karena itu,
kajian-kajian terhadapnya tak akan pernah keruh bahkan terus berjalan dan
berkembang seiring dengan kebutuhan Islam. Melalui terobosan-terobosan baru,
kajian ini akan terus mewarnai khazanah perkembangan studi keislaman dalam
pentas sejarah umai Islam.
Berbeda dengan al-Qur’an yang benar-benar
tidak diragukan kebenarannya, hadis menyisakan beragam persoalan karena pada zaman
Nabi hadis tidaklah tertulis, disamping berbagai faktor lainnya. Banyak
kearguan yang diarahkan pada hadis nabi. Keraguan tentang otentisitas hadis
membahayakan kedudukan sunnah. Jika dinyatakan bahwa sebuah hadis tidak
otentik, maka secara otomatis maka hadis tersebut hilang hujiyahnya. Mengakui
hujiyahnya sebuah hadis berarti menerima ketertarikan untuk mengamalkan hadis
tersebut. Sedangkan maragukan hujiyyah hadis berarti ada ketidak puasan
terhadap ajaran-ajaran Islam.
Disinilah maka penelitian hadis penting
dilakukan karena sosok hadis sendiri merupakan salah satu ajaran Islam. maka
dalam makalah ini penulis ingin mencoba menguraikan secara singkat latar
belakang atau bisa dikatakan faktor pentingnya penelitian hadis.
B. Faktor-Faktor Pentingnya
Penelititan Hadis
Ada beberapa faktor
yang menjadikan pentingnya penelitian hadis, yaitu:
a). Hadis Nabi Sebagai Salah
Satu Sumber Ajaran Islam
Hadis merupakan sumber ajaran Islam selain al-Quran karena hadis
sebagai penjelas dari al-Quran. Dengan meyakini bahwa hadis merupakan bagian
dari ajaran islam, maka penelitian hadis khususnya
hadis ahad sangat penting. Penelitian tersebut dilakukan untuk menghindarkan
dari pemakaian dalil-dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW. [1]
Pada zaman al-Syafi’i, golongan inkar
al-sunnah muncul. Mereka menyatakan, sumber ajaran islam hanyalah al-quran
saja. Faktor yang mendorong munculnya paham inkar al-sunnah yaitu ketidakpahaman mereaka tentang berbagai
hal yang berkenaan dengan ilmu hadis. Faktor ini tidak hanya terlihat pada
mereka yang berpaham inkar al-sunnah pada zaman al-Syafi’i saja akan
tetapi pada masa berikutnya, termasuk di dalamnya kelompok pengingkar al-sunnah
di Indonesia dan Malaysia.[2]
Para pengingkar al-sunnah berargumen
cukup banyak. Argumen-argumen tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu,
argumen-argumen nagly dan non nagly. Adapun argumen-argumen nagly, yaitu :
1. (a) .... &äóÓx« Èe@ä3Ïj9 $YZ»u‹ö;Ï? |=»tGÅ3ø9$# šø‹n=tã $uZø9¨“tRur...........
Artinya : Dan kami turunkan kepadamu al-kitab (al-quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu. (Q.S. al-Nahl : 89)
$¨B $uZôÛ§sù
’Îû É=»tGÅ3ø9$#
`ÏB &äóÓx« (b)
Artinya : Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-kitab. (Q.A. al-An’am:
38)
Menurut mereka, ayat-ayat tersebut dan yang
semakna dengannya menunjukkan bahwa al-Quran
telah mencakup segala sesuatu berkenaan
dengan ketentuan agama.[3]
2. Hadis Nabi menyatakan, bahwa pada suatu masa akan
bertebaran berita yang disandarkan kepada Nabi. Nabi memberi petunjuk, agar
berita tersebut dikonfirmasikan dengan al-Quran. Apabila berita itu sesuai
dengan al-Quran, berarti berita itu berasal dari Nabi; dan apabila berita itu
bertentangan dengan al-Quran berarti itu tidak berasal dari Nabi. Menurut
mereka, berdasarkan riwayat tersebut maka yang harus dipegangi bukanlah hadis Nabi
melainkan al-Quran, jadi dalam hal ini hadis tidak berstatus sebagai sumber
ajaran islam.[4]
Argumen-argumen
non nagly, yaitu [5]:
1. Menurut sejarah umat islam mengalami
kemunduran. Kemunduran tersebut dikarenakan mereka terpecah belah. Perpecahan
terjadi karena umat islam berpegang pada hadis Nabi, jadi hadis Nabi merupakan
sumber kemunduran umat islam.
2. Kitab-kitab hadis menghimpun dongeng-dongeng
semata. Sebab, hadis Nabi lahir sesudah lama Nabi wafat. Dalam sejarah,
sebagian hadis baru muncul pada zaman al-tab’iin dan at-ba’
al-tabi’in. Yakni sekitar 40 atau 50
tahun sesudah Nabi wafat.
3. Kritik sanad yang dikenal dalam ilmu
hadis sangat lemah untuk menentukan
kesahihan hadis.
b). Tidak Seluruh Hadis Tertulis Pada Zaman Nabi SAW
Sejarah periwayatan hadis Nabi berbeda dengan periwayatan al-Quran.
Periwayatan al-Quran dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara umum. Setelah
mendengar ayat-ayat al-Quran para
sahabat langsung mengahafalnya. Dikala itu para sahabat ada yang membuat
catatan ayat-ayat tersebut, para pencatat ada yang sengaja diperintah oleh Nabi
dan ada karena inisiatif mereka sendiri. Kemudian secara berkala, hafalan
sahabat diperiksa oleh Nabi.
Adapun periwayatan hadis pada masa itu, Nabi melarang para sahabat
untuk menulis hadis karena takut bercampur dengan al-Quran.
Dikala para sahabat ada yang menulis hadis, Nabi memerintahkan sahabat tersebut agar mengahapus seluruh catatan
selain ayat al-quran. Akan tetapi pada kesempatan lain,
Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Jika dilihat dari
kebijaksanaan Nabi dapatlah dinyatakan, bahwa pada masa itu hanya sebagian saja
periwayatan hadis berlangsung secara tertulis pada masa Nabi.
Pada zaman Nabi memang telah ada bebarapa sahabat yang memiliki
catatan-catatan hadis. Akan tetapi catatan-catatan itu tidak seragam sebab
catatan tersebut dibuat berdasarkan inisiatif masing-masing sahabat dan
kesempatan mereka berada di sisi Nabi tidak selalu bersamaan waktunya.
Sahabat-sahabat Nabi yang memiliki catatan hadis, diantaranya adalah Ali Bin
Abi Tholib (W 40 H=661 M), Sumrah Ibnu Jundab (wafat 60 H= 685 M), Abdullah Ibn
Amr Ibn al-‘As (W 65 H= 685 M).[6]
Dengan demikian, bahwa hadis Nabi pada zaman nabi belum seluruhnya
tertulis. Hadis yang dicatat oleh para sahabat hanya sebagian saja dari seluruh
hadis yang ada. Jadi, periwayatan hadis pada zaman Nabi lebih banyak dalam
bentuk lisan daripada bentuk tulisan. Dalam hal ini, sanad hadis menduduki
peranan yang penting dalam periwayatan hadis.[7]
c). Merebaknya Pemalsuan Hadis Pada Masa Periwayatan
Tidak diragukan lagi, para pemalsu hadis dalam melakukan
aktifitasnya terdorong oleh berbagai factor. Factor-faktor itu bisa muncul
secara disengaja atau tidak disengaja, oleh karenanya dibawah ini masing-masing
akan diperinci lagi.
1. Sebab-sebab yang disengaja dalam pemalsuan hadis
Pertama,
niat untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dalam hal ini yang berperan adalah
orang-orang zindiq. Mereka sengaja menciptakan hadis-hadis palsu sebagai
serangan terhadap Allah dan Rasulullah SAW. Dengan tindakan seperti itu mereka
mengira bahwa akidah umat Islam akan hancur dan agama Islam itu sendiri akan
porak-poranda.[8]
Contohnya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibn al-Jauzy di dalam al-Maudhu’at,
dari Ibn Umar dari Nabi saw., beliau bersabda: “sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla belum pernah marah. Tetapi bila Dia marah, maka semua malaikat akan
bersenjata karena kemarahan itu. Dan bila Dia menengok ke bumi, lalu melihat
anak-anak sedang membaca al-Quran maka Ia menjadi lega.” Ibn al-Jauzy
berkomentar: “Harus diyakini bahwa Allah swt. Tidak akan terpengaruh oleh
sesuatupun. Dia juga tidak mempunyai sifat yang baru dan sikap yang baru pula.
Karenanya, tidak ada alasan bagi para malaikat untuk mengambil senjata, yang
seakan-akan ingin melawan sifat Allah swt. Hal itu mereka maksudkan untuk
mencela Islam dan menyebarkan keraguan kepada para pemeluknya.
Contoh
lain yang dikemukakan oleh Ibn al-Jauzy adalah hadis palsu yang beliau kutip
dari Ibn Hibban, bahwa Ayyub ibn Abdussalam seorang zindiq pernah meriwayatkan
sebuah hadis, bahwa Allah swt. Tatkala
marah, maka ‘arasy akan bergerak-gerak, sehingga terasa berat bagi para
malaikat yang menyangganya. Lebih lanjut, Ibn al-Jauzy berkata: “saya menilai,
bahwa dia pasti seorang atheis yang sengaja menyusupkan keraguan (skeptis) ke
dalam hati kaum Muslimin, yang tentu saja dengan hadis-hadis palsu seperti itu.
Orang-orang zindiq yang paling terkenal memalsukan hadis adalah Abdul Karim ibn
Abu al-‘Auja’, Bayan Ibn Sam’an al-Mahdiy, dan Muhammad Ibn Sa’id al-Mashlub.[9]
Kedua, Pembelaan terhadap aliran yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pembelaan terhadap aliran politik
Pertentangan-pertentangan politik dikalangan para sahabat
menimbulkan adanya berbagai aliran. Masing-masing aliran berusaha membuat hadis
palsu demi membela aliran yang bersangkutan, terutama tentang pandangan
politiknya. [10] seperti hadis berikut:
((عليّ خير البشر، من شكّ
فيه كفر))[11]
b. Pembelaan terhadap agama
Persoalan-persoalan keagamaan, baik berkenaan dengan akidah, ushul,
atau furu’ atau yang lain telah memasuki ruang perdebatan. Sehingga memunculkan
hadis-hadis palsu yang mengukuhkan suatu pendapat atau bahkan menolak pendapat
lain yang bertentangan, berkenaan dengan qadar, jabar, ikhtiyar, dengan bentuk
penjelasan yang sangat terperinci, yang tidak mungkin merupakan cara Nabi SAW.
Dalam menjelaskan sesuatu. Bahkan ada hadis yang secara tegas menyebutkan nama
sebuah aliran tertentu dan nama pemimpinnya sekaligus.[12]
c. Pembelaan terhadap aliran geografis
Ketika
sedang marak pemalsuan hadis, tidak ada satu Negara besarpun yang tidak menjadi
ajang pemalsuan hadis berkenaan dengan Negara tersebut. Makkah, Madinah, Syam,
Baitul Maqdis, Parsi, Mesir, dan lain-lain adalah daerah-daerah yang menjadi
ajang pemalsuan hadis, dengan segala bentuk keutamaan yang ditampilkan. Namun
demikian tidak berarti tidak ada hadis shahih yang isinya berkenaan dengan pembelaan
terhadap suatu daerah. Bahkan Rasulullah sendiri pernah mengungkapkan keutamaan
kota Makkah dan Madinah. Beliau juga pernah mengungkapkan keutamaan penduduk
Yaman, yang menurut beliau mereka adalah orang-orang yang paling halus dan
lembut hati.[13] Diantara contoh hadis
palsu dalam hal ini adalah:
((أبغض
الكلام إلى الله الفارسية وكلام أهل الجنة العربية))[14]
Ketiga, terdorong oleh motif-motif duniawi sebagaimana diuraikan berikut
ini.
i).
Ingin mendekati penguasa. Dengan tujuan ini seseorang yang akan membuat hadis
palsu yang sesuai dengan keinginan penguasa yang dimaksud, sebagai upaya untuk
meraih harta dan jabatan.[15] Seperti hadis berikut:
((لا سبق الا في نصل أوخف أو حافر أو جناح)) فزاد
كلمة ((أو جناح)) لأجل المهدي، فعرف المهدي ذلك، فأمر بذبح الحمام. وفال: أنا
حملته على ذلك.[16]
ii). Mencari pendukung (Massa). Motif ini termasuk motif
duniawi, sebab periwayat (pemalsu) hadis akan merasa gagah dan bangga terhadap
dirinya sendiri, tatkala banyak orang berdatangan kepadanya untuk meriwayatkan
hadis darinya. Seorang
periwayat akan bangga membuat hadis-hadis (palsu) yang belum pernah mereka
dengar.[17] Seperti hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dahiyah dan Hammad an-Nasibi.[18]
Keempat, at-Targhib
wa at-Tarhib (usaha untuk membuat orang mencintai kebajikan dan takut
melakukan kemaksiatan).[19]
Contoh hadis sebagai berikut :
فقد
روي ابن حبان فى الضعفاء عن ابن مهدي قال : قلت لميسرة بن عبد ربه: من أين جئت
بهذه الآحاديث، من قرأ كذا فله كذا؟ قال: وضعتها أرغّب النّاس.[20]
Beberapa orang zahid, ahli ibadah, ataupun orang-orang saleh
melihat adanya kelesuan di kalangan masyarakat terhadap tindakan kebaikan.
Sebaliknya, mereka terpengaruh oleh kemegahan duniawi. Karena itulah mereka
membuat hadis palsu, yakni atas nama Nabi Muhammad, membuat orang-orang
mencintai al-Quran dan ibadah, serta membuat mereka jera terhadap
perbuatan-perbuatan maksiat, dengan anggapan bahwa mereka telah melakukan
sesuatu yang akan mendatangkan pahala dari sisi Allah swt. Contohnya adalah
sebuah hadis panjang yang berisi keutamaan-keutamaan al-Quran, surat demi
surat. Nuh Ibn Abi Maryam mengaku telah membuat hadis palsu itu. Hal itu
dilakukannya dengan alasan orang-orang telah banyak berpaling dari al-Quran dan
menyibukkan diri dengan fiqh Abu Hanifah dan Maghazi Ibn Ishaq. Kemudian hadis
itu diriwayatkan oleh pemalsu yang lain.[21]
Kelompok pemalsu ini telah merusak akal kaum awam, mengacaukan
hakikat agama dan merancukan ukuran-ukuran perbuatan, serta merupakan kelompok
yang paling berani memalsukan hadis. Sebab menurut anggapan mereka, mereka
melakukannya demi kebaikan.[22]
2. Sebab-sebab yang tidak disengaja dalam pemalsuan hadis
Pertama, terjadinya kekeliruan atau kesalahan pada diri periwayat.
Kadang-kadang, betapapun tsiqahnya seorang periwayat, bisa jadi
terjerumus dalam kekeliruan atau kesalahan. Sehingga bisa terjadi ia
memarfu’kan suatu hadis kepada Nabi saw., yang sebenarnya hanya merupakan
perkataan sahabat atau yang lain. Tetapi hadis semacam ini, kadang-kadang
disebut hadis palsu, namun kadang-kadang disebut syibh al-maudlu’ (semi
palsu) .[23]
Diantara bukti adanya kesalahan yang terkenal adalah pernyataan Ibn
Abbas r.a., bahwa Nabi saw. Mengawini Maimunah pada saat beliau sedang Ihram.
Demikian pula riwayat Tsabit Ibn Musa, yang berbunyi: Barangsiapa banyak
melakukan sholat dimalam hari, maka mukanya akan tampak ceria di siang harinya.[24]
Kedua, penyusupan hadis palsu dalam karya periwayat oleh orang
lain
tanpa sepengetahuan dirinya. [25]
Sudah kita ketahui bersama, bahwa periwayat tsiqat menurut terminology
ulama hadis adalah orang adil lagi dlabit. Sedangkan dlabit sendiri terbagi
menjadi dua yaitu dlabt shadr (kuat hafalan) dan dlabt sathr
(kekuatan tulisan atau catatan). Sebagian ahli hadis yang diganggu oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, dengan menyusupkan hadis-hadis
munkar ke dalam koleksi hadis mereka. Tanpa sepengetahuan mereka dan tanpa mereka
sadari, mereka meriwayatkan hadis itu benar-benar dari diri mereka.[26]
Perlu diketahui oleh pembaca, bahwa ada faktor
yang sangat kuat mempengaruhi seseorang untuk memalsukan hadis, yaitu bahwa
pada permulaan periwayatan, orang-orang tidak bersedia menerima ilmu kecuali
yang bersambung pada al-Quran dan al-Hadis. Sedangkan ilmu-ilmu selain itu,
bagi mereka tidak ada artinya sama sekali. Hukum-hukum halal dan haram
sekalipun, bila hanya berdasar ijtihad, bagi mereka tidak ada artinya, kecuali
yang memiliki dasar dalam hadis. Umumnya mereka akan membuang begitu saja
pernyataan yang tidak berasal dari al-Quran dan al-Hadis. Bahkan cara itu telah
manjadi tradisi di kalangan sementara orang waktu itu. Demikian pula filsafat
yang berasal dari India, Yunani, Persi, atau dari para pensyarah Taurat dan
Injil, tidak akan diperhitungkan sama sekali. Karena itulah para pemalsu hadis
berinisiatif membungkus ajaran-ajaran seperti itu dengan bungkus agama,
sehingga orang-orang bisa menerimanya. Sepertinya mereka memandang, bahwa hadis
adalah satu-satunya celah untuk memalsukan ajaran mereka. Dari situlah mereka
akan menyebarkan ajaran mereka kepada masyarakat waktu itu. Mereka tidak
memiliki rasa takut sedikitpun kepada Allah swt. Karena itulah dalam hadis anda
dapat menemukan berbagai bentuk hukum fiqh, filsafat India, filsafat Yunani,
ataupun ajaran-ajaran ala Yahudi atau Nashrani.[27]
d). Proses Penghimpunan Hadis Yang Memakan Waktu Lama
Dalam sejarah, penghimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi atas perintah khalifah Umar bin Abdul
Aziz (W. 101 H/720 M),[28]
sebelum khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat, ulama hadis yang berhasil
melaksanakan perintah khalifah adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri
(W. 124 H/742 M). Seorang ulama terkenal di negeri Hijaz dan Syam.
Bagian-bagian kitab karya az-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai
daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya.[29]
Pada sekitar pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Di
berbagai kota besar seperti Makkah, Madinah, dan Basrah Telah muncul
karya-karya himpunan hadis. Puncaknya terjadi sekitar pertengahan abad ke-3
Hijriyah.[30]
Dengan demikian, jarak waktu antara masa penghimpunan
hadis dan wafatnya nabi cukup lama. Hal itu membawa akibat bahwa berbagai hadis
yang dihimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang seksama untuk
menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak bertanggungjawab
validitasnya.[31]
e). Jumlah Kitab Hadis Yang Banyak Dengan Metode Penyusunan Yang Beragam
Jumlah hadis yang disusun oleh para ulama’
periwayat hadis cukup banyak. Jumlah itu sangat sulit dipastikan angkanya sebab
mukharijul hadis (ulama yang meriwayatkan hadis sekaligus melakukan
penghimpunan hadis) tidak terhitung banyaknya, apalagi, sebagian para
penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu
kitab. Di antara kitab-kitab tersebut ada yang beredar luas di masyarakat
sampai zaman sekarang, ada yang cukup sulit ditemukan, dan ada yang telah
hilang.[32]
Metode penyusunan kitab-kitab himpunan hadis
juga ternyata tidak seragam. Hal itu memang logis sebab yang lebih ditekankan
dalam kegiatan penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan
hadisnya.
Masing-masing mukharrij memiliki metode
tersendiri-sendiri baik dalam sistematika penulisan dan topik yang dikemukakan
oleh hadis yang dihimpunnya, maupun kriteria tentang peringkat kualitas kitab
kitab himpunan hadis tersebut, misalnya al-kutub al-khamsah, al-kutub assitah,
al-kutub al-sab’ah.
Dalam kriteria yang beragam terhadap
hadis-hadis yang dihimpun dalam hadis-hadis terebut, maka kualitas hadisnya
menjadi tidak selalu sama. Untuk mengetahui apakah hadis-hadis yang termuat
dalam berbagai kitab himpunan tersebut berkualitas shahih atau tidak shahih,
diperlukan kegiatan penelitian. Dengan melaksanakn penelitian akan terhindar
sedapat mungkin penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi kriteria sebagai
hujah. Apalagi, kualitas para periwayat yang termuat dalam berbagai sanad bagi hadis yang dihimpun
dalam kitab itu bermacam-macam; ada yang memenuhi syarat dan ada yang tidak
memenuhi syarat.
f). Periwayatan Hadis Bi Al-Ma’na
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan
periwayatan hadis secara makna. Misalnya, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Mas’ud(wafat 32h/625M). Anas bin Malik (wafat 93 H/ 711 M),
Abu Darda’ (wafat 32 H/625 M), abu Hurairah ( wafat 58H/678H) dan Aisyah (wafat
58H/ 678). Paar sahabat Nabi yang melarang periwayatan bil makna, misalnya Umar
bin Khattab, abdullah bin Umar bin Khattab, dam Zaid bin Arqam.
Perbedaan pandangan tentang periwayatan hadis
secara makna itu terjadi juga di kalangan ulama sesudah zaman sahabat. Ulama
yang membolehkan periwayatan bil makna menekankan pentingnya pemenuhan
syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya periwayatan yang bersangkutan harus
mendalam pengetahuannya tentang bahasa Arab, hadis yang diriwayatkan bukanlah
bersifat ta’abbudi, umpamanya bacaan shalat, dan periwayatan secara makna
dilakukan karena sangat terpaksa. Dengan demikian periwayatan hadis secara
makna tidaklah berlangsung secara longgar, tetapi cukup ketat.
Walaupun cukup ketat syarat periwayatan hadis
secara makna, namun kebolehan tersebut memberi petunjuk bahwa matn hadis
yang diriwayatkan secara makna telah ada dan bahkan banyak.[33]
Padahal untuk mengetahui kandungan petunjuk hadis tetentu, diperlukan terlebih
dahulu mengetahui susunan redaksi dari hadis yang bersangkutan. Khususnya yang
berkenaan dengan hadis qauli (hadis yang berupa sabda nabi). Selain itu,
untuk mengetahui bahwa suatu hadis diriwayatkan secara makna, harus diteliti
terlebih dahulu asbab al-wurudnya dan kapan hadis tersebut muncul.[34]
Karenanya, kegiatan penelitian dalam hal itu sangat penting.
Demikianlah faktor-faktor yang menyebabkan
pentingnya penelitian hadis. Faktor-faktor tersebut masih ditambah lagi, namun
apa-apa yang telah dikemukakan di atas tampaknya telah cukup ketat.
C.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
perlunya meneliti hadis yaitu, pertama, hadis sebagai salah satu sumber
ajaran islam. Kedua, tidak seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi. Ketiga,
munculnya pemalsuan hadis. Keempat, proses penghimpunan hadis. Kelima,
jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode
penyusunan yang beragam dan
yang keenam yaitu periwayatan hadis bi al-ma’na.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Adlabi, Salahudin Ibn
Ahmad, 2004, Metodologi Kritik Matan Hadis, Jakarta:
Gaya Media Pratama.
As-Shalah,Ibnu, 1972, Ulumul Hadis,
Madinah : Maktabah al-Ilmiyyah.
Ismail, Syuhudi, 1992.
Metodelogi Penelitian Hadis Nabi,
Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail, Syuhudi, 1998. Kaidah
Kesahihan Sanad hadis, Jakarta:
Bulan Bintang.
Khon, Abdul Majid, 2008, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah.
Noorhidayati, Salamah, 2009, Kritik Teks
Hadis, Yogyakarta : Teras.
At-Tahhan, Mahmud, T.t., Taysir
Mushtholahul Hadis, Surabaya: Alhidayah.
[7]
Ibid, hlm 107.
[8]
Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, t.t,) 33.
[9] Ibid.,
hal. 34
[10] Ibid.
[11] Mahmud
at-Tahhan, Taysir Mushtholahul Hadis, (Surabaya: Alhidayah, t.t) 91.
[16]
Mahmud at-Tahhan, _______________, hal. 92.
[18]
Mahmud at-Tahhan, ________________hal. 92.
[20]
Mahmud at-Tahhan, ___________________hal. 91.
[22] Ibid.
[24] Ibid.
[26] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[33] Ibnu as-Shalah, Ulumul Hadis, (Madinah : al-Maktabah al-Ilmiyyah,
1972) 190-192 dalam Metodologi Penelitian Hadis, Syuhudi Ismail, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992) 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar