Jumat, 12 Oktober 2012

TAFSIR AL-KASYSYAF

TAFSIR AL-KASYSYAF
A.      Biografi Al-Zamakhsyari
1.      Latar Belakang Keilmuan al-Zamakhsyari
Nama lengkap al-Zamakhsyari adalah Abdul Qoaim mahmud ibn Muhammad ibn Umar al-Zamakhsyari. Ada juga yang menulis Muhammad ibn Umar ibn Muhamma al-Khawarizmi al-Zamaksyari. Ia lahir di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khawarizmi pada hari Rabu 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M, pada masa pemerintahan Sultan Jalal al-Din Abi al-Fath Malikisyah dengan Wazir Nizam al-Mulk.[1]
Sejak usia remaja, al-Zamaksyari sudah pergi merantau, yaitu menuntut ilmu pengetahuan ke Bukhara yangmana pada saat itu menjadi pusat kegiatan keilmuan dan terkenal dengan para sastrawan. Baru beberapa tahun belajar, ia merasa terpanggil untuk pulang sehubungan dengan dipenjarakannya ayahnya oleh pihak penguasa dan kemudian wafat. Al-Zamaksyari masih beruntung, bisa berjumpa dengan ulam terkenal di Khawarizm, yaitu Abu Mudar al-Nahwi (w. 508 H). Berkat bimbingan dan bantuan yang diberikan Abu Mudar, ia berhasil menjadi murid yang terbaik, menguasai bahasa dan sastra Arab, logika, filsafat dan ilmu kalam.[2]
Al-Zamakasyari dikenal sebagai yang berambisi memeperoleh kebutuhan dipemerintahan. Setelah merasa tidak berkhasil dan kecewa melihat orang-orang yang dari segi ilmu dan akhlaq  lebih rendah dari dirinya diberi jabatan-jabatan yang tinggi oleh penguasa, sementara ia sendiri tidak mendapatkannya walaupun telah dipromosikan oleh guru yang sangat dihormatinya, yaitu Abu Mudar. Keadaan itu memakasanya untuk pindah ke Khurasan dan memperoleh sambutan baik serta pujian dari kalangan pejabat pemerintahan Abu al-Fath ibn al-Husain al-Ardastani dan kemudian menjadi sekertaris (katib),  tetapi karena tidak puas dengan jabatan tersebut, ia pergi ke pusat pemerintahan daulah Bani Saljuk yakni kota Isfahan.[3]
Ada dua kemungkinan mengapa al-Zamaksyari selalu gagal dalam mewujudkan keinginannya duduk di pemerintahan. Pertama, karena ia bukan saja dari ahli bahasa dan sastra arab saja akan tetapi juga seorang Mu’tazilah yang sangat demonstratif dalam menyebar luaskan fahamnya dan ini akan memabawa damapak kurang disenangi oleh beberapa kalangan yang tidak berafiliasi pada Mu’tazilah. Kedua, karena kurang didukung jasmaninya, yaitu memiliki cacat fisik, kehilangan satu kakinya.[4]
Al-Zamaksyari melanjutkan perjalannnya ke Baghdad. Di sini ia mengikuti pengajian hadis oleh Abu al-Khattab al-Batr Abi saidah al-Syafani, Abi Mansur al-Harisi dan mengikuti pengajian fiqih oleh ahli fiqih Hanafi, al-damagani al-Syarif Ibn al-Syajary.[5]

2.       Karya-Karya al-Zamakhsyari
Zamaksyari seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani dan bayan.  Dalam kitab ilmu nahwu dan balaghah sering ditemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan: “Zamaksyari berkata dalam kitab al-Kasysyaf atau dalam Asasul Balaghahnya...”. [6] Selain kitab tafsir, al-Zamaksyari mempunyai banyak karya dalam bidang hadis, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain sebagainya. Diantara karangannya yaitu:
a)      Dibidang tafsir: Tafsir Al-kasysyaf ‘an Haq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujub Al-Ta’wil.
b)       Bidang Hadits: Al-Fa’iq fi garib Al-Hadits.
c)      Bidang Fiqh: Ar-Ra’id fi Al-Faraid.
d)      Bidang Ilmu Bumi: Al-Jibal wa Al-Amkinah.
e)      Bidang Akhlaq: Mutasyabih Asma’ Al-Ruwat, Al-Kalim Al-Nabawing fil Al-Mawa’iz Al-Nasa’ib Al-Kibar Al-Nas’ib Al-Sigar, Maqamat Fil Al-Mawa’iz, kitab fi Manaqib Al-Imam Abi Hanifah.
f)         Bidang Sastra: Diwan Rasa’il, Diwan Al-Tamasil, Taliyat Al-Darir.
g)        Bidang Ilmu Nahwu: Al-Namuzaj fi Al-Nahwu, Syarh Al-Katib Sibawaih, Syarh Al-Mufassal fi Al-nahw.
h)      Bidang Bahasa: Asas Al-balaghah, Jawahir Al-Lughah, Al-Ajnas, Muqadimah Al-Adab fi Al-Lughah.

B.       Kitab Tafsir al-Kasysyaf
Kitab tafsir ini berjudul al-Kasysyaf an Haqaiq al-tanzil ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil bermula dari permintaan suatu kelompok yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah. Kelompok yang dimaksud di sini adalah kolompok Mu’tazilah. Dalam muqoddimah tafsir al-Kasysyafi disebutkan  sebagai berikut: ..... mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna al-Quran dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya.[7]
Kitab al-Kasysyaf adalah sebuah kitab tafsir yang paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bi al-ra’yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alusi, Abu Su’ud an-nasafi dan para mufassir lannya banyak menukil dari kitab tersebut tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan telah diteliti oleh ‘Allamah Ahmad an-Nayyir yang dituangkan dalam bukunya al-Intisaf. Dalam kitab ini an-Nayyir menyerang al-Zamkhsyari dengan mendiskusikan masalah akidah madzhab mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemmukakan pandangan yang berlawananan dengannya sebagaimana ia mendiskusikan masalah kebahasaan.[8]
Penafsiran yang ditempuh al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat dan jelas sehingga para ulama’ Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir tersebut dipresentasikan pada para ulama Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan corak i’tizali, dan hasilnya adalah tafsir al-Kasysyaf yang ada saat ini.[9]

Pada tahun 1986, tafsir al-Kassyaf dicetak ulang pada percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi, di Mesir, yang terdiri dari empat jilid. Kitab tafsir ini, berisi penafsiran runtut berdasarkan tertip mushafi, yang terdiri 30 puluh juz berisi 144 surat, mulai surat al-fatihah sampai surat al-Nas. Dan setiap surat diawali dengan basmalah kecuali surat al-Taubah. Tefsir ini terdiri dari empat Jilid,  jilid pertama diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Maidah. Jilid kedua diwali engan surat al-An’am dan diakhiri dengan surat al-Anbiya’. Jilid ketiga diawali dengan surat al-Hajj dan diakhiri dengan surat al-Hujurat dan jilid yang keempat diawali dengan surat Qaf dan diakhiri dengan surat al-Nass.

C.      Contoh Penafsiran al-Zamakhsyari
1.      Al-Baqarah ayat 115
{ وَلِلَّهِ المشرق والمغرب } أي بلاد المشرق والمغرب والأرض كلها لله هو مالكها ومتوليها { فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ } ففي أي مكان فعلتم التولية ، يعني تولية وجوهكم شطر القبلة بدليل قوله تعالى : { فَوَلّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام وحيثما كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ } . { فَثَمَّ وَجْهُ الله } أي جهته التي أمر بها ورضيها . والمعنى أنكم إذا منعتم أن تصلوا في المسجد الحرام أو في بيت المقدس ، فقد جعلت لكم الأرض مسجداً فصلوا في أي بقعة شئتم من بقاعها ، وافعلوا التولية فيها فإن التولية ممكنة في كل مكان لا يختص [ إمكانها ] في مسجد دون مسجد ولا في مكان دون مكان { إِنَّ الله واسع } الرحمة يريد التوسعة على عباده والتيسير عليهم { عَلِيمٌ } بمصالحهم . وعن ابن عمر : نزلت في صلاة المسافر على الراحلة أينما توجهت . وعن عطاء : عميت القبلة على قوم فصلوا إلى أنحاء مختلفة ، فلما أصبحوا تبينوا خطأهم فعذروا . وقيل : معناه ( فأينما تولوا ) للدعاء والذكر ولم يرد الصلاة . وقرأ الحسن : فأينما تَولوا ، بفتح التاء من التولي يريد : فأينما توجهوا القبلة. [10]

¬   Ü>̍øópRùQ$#ur ä-̍ô±pRùQ$# !ur menurut al-zamaksyari maksudnya adalah Timur dan barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya milik Allah. Dia yang memiliki dan menguasai seluruh alam. ( #q9uqè? $yJuZ÷ƒr'sù maksudnya ke arah manapun manusia mengahadap Allah, hendaknya mengahadap kibalat sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah ayat 144, yang berbunyi :
ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øŠymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx© 3
Artinya: Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.[11]

§«!$# çmô_ur NsVsù menurut al-Zamaksyari maksudnya di tempat (Masjid al-Haram) itu adalah Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan manusia diperintahkan untuk mengahadap Allah pada tempat tersebut. Maksud ayat di atas adalah apabila seorang Muslim akan melaksanakan sholat dengan menghadap Masji al-Haram dan bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk mengahadap ke arah tersebut. Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk menghadap kiblat ke arah amanapun dalam shalat dan di tempat manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu.
Menurut Ibn Umar turunnya ayat ini berkenaan dengan shalat mufassir di atas kendaraan, ia menghadap ke mana kendaraannya menghadap. Akan tetapi menurut Ato’ ayat ini turun ketika tidak diketahui arah qiblat shalat oleh suatu kaum, lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing). Kemudian pagi harinya, ternyata mereka salah menghadap kiblat, kemudian mereka menyampaikan peristiwa tersebut kepada Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang mengatakan bahwa bolehnya menghadap ke arah mana saja itu adalah dalam berdoa, bukan dalam shalat.
Al-Hasan membaca ayat (فأينما تولوا) dengan memberi harokat fathah pada huruf ta’ sehinngga bacaannya menjadi tawallau karena menurutnya kata itu berasal dari tawalli, yang berarti ke arah mana saja kamu menghadap kiblat.

2.      Al-Baqarah ayat 23
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷ƒu $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#yygä© `ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇËÌÈ  
Artinya:  Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
Menurut al-Zamaksyari kembalinya dhamir (kata ganti) hi pada kata mislihi, adalah pada kata ma nazzalna atau pada kata abdina, tatapi yang lebih kuat dhamir itu kembali pada kata manazzalna, sesuai dengan maksud ayat tersebut, sebab yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-Quran, bukan nabi Muhammad SAW.[12]

3.      Al-Qiyamah ayat 22-23
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ  
Artinya:  Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (22). Kepada Tuhannyalah mereka melihat (23).

Al-Zamakhsyari mengesampingkan makna lahir kata nazirah (melihat), sebab menurut mu’tzilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata nazirah diartikan dengan al-raja’(menunggu, mengaharapkan).[13]
Al-zamaksyari juga memeperlihatkan keberpihakannya pada Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan menarik ayat mutasyabihat pada muhakkamat. Oleh karena itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya (tampaknya) bertentangan dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah, ia akan mencari jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian mengklasifikasikannya pada ayat muhakkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan dalam ayat muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat mutasyabihat,  kemudian ditakwilkan agar sesuai dengan rinsip-prinsip Mu’tazilah. Misalnya ketika ia menafsirkan ayat al-Quran surat al-An’am ayat 103:
žw çmà2Íôè? ㍻|Áö/F{$# uqèdur à8Íôムt»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# 玍Î6sƒø:$# ÇÊÉÌÈ  
Artinya:  Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Demikian pula surat al-Qiyamah ayat 22-23:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ  
Artinya:  Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (22). Kepada Tuhannyalah mereka melihat (23).

Ayat 103 surat al-An’am dikelompokkan dalam ayat muhkamat, karena maknanya sesuai dengan paham Mu’tazilah, sedang ayat 22-23 surat al-Qiyamah dikelompokkan dalam ayat mutasyabihat, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah. Begitu juga kata nazirah dicarikan maknanya yang sesuia dengan paham Mu’tazilah, yaitu al-raja’ (menunggu, mengharapkan).[14]

D.      Penilaian Ulama Terhadap Tafsir al-Kasysyaf
Dikalangan Ulama, tafsir al-Kasysyaf sangat terkenal dalam mengungkapkan keindahan balaghahnya. Disamping memiliki kelebihan, tafsir al-Kasysyaf juga memiliki kelemahan dan kekurangan. Berikut penilaian ulama terhadap tafsir al-Kasysyafi sebagai berikut :
1.      Imam Busykual
Imam Busykual meneliti dua tafsir yaitu tafsir Ibn ‘Atiyyah dan tafsir Al-Zamakhsyari, ia beropini: “Tafsir Ibn ‘Atiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedangkan tafsir Al-Zamakhsyari lebih ringkas dan mendalam”. Hanya saja Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan Al-Qur’an sering menggunkan kata-kata yang sukar dan banyak menggunkan syair, sehingga mempersulit pembaca dalam memahaminya dan sering menyerang mazhab lain. Hal ini terjadi karena ia berusaha membela madzhabnya, madzhab Mu’tazilah.[15]
2.      Haidar al-Harawi
Haidar menilai bahwa tafsir Al-Kasysyaf merupakan tafsir yang tinggi nilainya dari pada tafsir-tafsir sebelumnya dan tidak ada yang dapat menandingi keindahan maupun pendalamannya.
Kekurangan-kekurangan pada tafsir al-Kasysyaf menurut Haidar, yaitu: [16]
a.     Sering melakukan penyimpangan makna lafadz tampa dipikir lebih mendalam.
b.     Kurang menghormati ulama lain yang tidak sama golongannya. Sehingga al-Razi ketika menafsirkan surat al-Maidah ayat 54, menunjukkannya pada  penyusun al-Kasysyaf, karena al-Zamaksyari sering melontarkan celaan kepada para ulama.[17]
c.     Terlalu banyak menggunakan syair-syair dan pribahasa yang penuh kejenakaan yang jauh dari tuntunan syariat.
d.    Sering menyebut Ahli Sunnah wa Al-Jama’ah dengan tidak sopan. Bahkan sering mengkafirkan mereka dengan sindiran-sindiran.
3.      Ibnu Khaldun
Ibn Kaldun berpendapat bahwa tafsir diantara tafsir yang paling baik dan paling mampu dalam mengungkapkan makna Al-Qur’an  dengan pendekatan bahasa dan balaghah serta i’rabnya adalah tafsir al-Kasysayaf.[18] Kekurangan tafsir Al-Kasysyaf menurut Ibn Kaldun yaitu Dlam tafsir Al-Zamakhsyari sering membela mazhabnya dalam menafsirkan Al-Qur’an.[19]


4.      Mustafa al-Sawi al-Juwaini
Al-Sawi berpendapat bahwa Al-Zamakhsyari seorang ulama Mu’tazilah yang fanatik dalam membela pahamnya sehingga penafsirannya lebih condong pada mazhab Mu’tazilah.[20]
5.      Ignaz Golziher
Dalam bukunya Madzahib tafsir al-Islam, Ignaz mengatakan bahwa tafsir al-Kasysyaf sangat baik, hanya saja pembelaannya terhadap Mu’tazilah sangat berlebihan.[21]
6.      Muhammad Husain al-Zahabi
Beliau berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf adalah kitab tafsir yang paling lengkap dalam menyingkap balaghah al-quran.[22]
 

[1] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijagai, 2004)., 44.
[2] Ibid 45.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Abd. Kholid, Kuliah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2007), 63.
[6] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), 530.
[7] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab ......, 48.
[8] Al-Qattan, Studi Ilmu…, 531.
[9] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab ......, 49.
[10] Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, (T.kt: Dar al-Fikr, t.th)., jilid I., 306-307.
[11] Quran digital.
[12] Ibid., 241.
[13] Ibid., Jilid IV., 192.
[14] Ibid.
[15] Kholid, Kuliah …, 68.
[16] Ibid.
[17] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab ......, 59.
[18] Kholid, Kuliah …, 68.
[20] Ibid.
[21] Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, terj M. Alaika Salamullah, dkk.(Beirut: Dar-Iqra’, 1983), 150.
[22] Moh. Husein al-Dzahabi, al- Tafsir wa al-Mufassirun, (Nasyr: Tuzi’, 2005), 364.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar