Minggu, 14 Oktober 2012

Tarekat Nagsabandiyah


BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad ke-2 Hijriyah tasawwuf mulai muncul. Tasawwuf terus berkembang dan meluas dan mulai terkena pengaruh luar. Salah satunya yaitu pengaruh filsafat, baik filsafat Yunani, India maupun Persia. Setelah abad ke-2 Hijriyah muncul golongan sufi  yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqorrub kepada Allah.
 Kemudian para sufi membedakan pengertian syariah, thariqot, haqiqat, dan makrifat. Menurut mereka syariah adalah untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, thoriqah yaitu untuk memperbaiki amalan-amalan bathin (hati), sedangkan haqiqat untuk mengamalkan segala rahasia yang gaib dan ma’rifat yaitu mengenal hakikat Allah baik zat, sifat maupun perbuatanNya[1].
Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya.  Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengn nama pendiri  atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap tarekat punya syeikh, cara dzikir dan upacara ritual masing-masing. Biasanya syaikh atau mursyid mengajar murid-muridnya di asrama untuk latihan rohani yang dinamakan rumah suluk atau ribath.[2]
Tarekat-tarekat yang muncul diantaranya seperi tarekat Qodariyah yang didirikan oleh Syeik Abdul Qodir al-Jailani (wafat di Irak padAa tahun 1161 M/561 H ), tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad ar-Rifai’( wafat di Irak pada tahun 1182 M/578 H ), tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh Syeikh  ahmad asy-Syadzili (wafat di Mesir pada tahun 1258 M/658 H), tarekat Naqsabandiyah yang didirikan oleh syeikh Bahauddin Naqsabandi (wafat di Bukhara pada tahun 1389 M/791 H) dan masih banyak tarekat-tarekat yang lainnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa arab “Thariqah” yang artinya jalan, cara atau aliran.  Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dn dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat. Sebab, jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq.
 Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik  merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal; pengalaman mistik tak mungkin diperoleh bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama. Dengan kata lain, tarekat adalah perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan siri sedekat mungkin kepada Tuhan.[3]
Sedangkan menurut Harun Nasution menyatakan bahwa tarekat berasal dari kata “thariqah”, yaitu jalan yang hahrus ditempuh oleh seorang sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah.[4]
Sebuah tarekat biasanya terdiri dari pensucian bathin, kekeluargaan tarekat, upacara keagamaan dan kesadaran sosial. Yang dimaksud pensucian jiwa adalah melatih rohani dengan hidup zuhud, menghilang kan sifat-sifat jelek yang menyebabkan dosa, mengisi sifat-sifat terpuji, taat menjalankan perintah agama, menjauhi larangan, taubat atas segala dosa dan intropeksi. Kekeluargaan tarekat biasanya terdiri dari syeikh tarekat, syeikh mursyid (khalifahnya), mursyid sebagai guru tarekat, murid dan guru pengikut serta ribath (zawiyah) tempat latihan, kitab-kitab, sistem dan metode zikir. Upacara keagamaan bisa berupa baiat, ijazah atau khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan thariqat, talqin,wasiat yang diberikan dan dialihkan seorang syeikh tarekat kepada murid-muridnya.[5]

B.     Sejarah Munculnya Tarekat
Peralihan tasawuf  yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawwuf itu sendiri.  Semakin luas pengaruh tasawwuf, semakin banyak pula orang yang berhasrat mempelajarinya. Untuk itu, mereka menemui orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam pengalaman tasawwuf yang dapat menuntun mereka. Sebab, belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal adalah suatu keharusan bagi mereka. Seorang guru tasawwuf biasanya memang menformulasikan suatu sistem pengajaran tasawwuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemudian menjadi ciri has bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain.
Perluasan tarekat biasanya berlansung karena adanya murid yang telah dipandang berhasil oleh syeikh mencapai tingkatan tertinggi akan memperoleh ijazah (suatu pengakuan boleh menjadi guru tarekat) dari syeikh tersebut. Pemegang ijazah itu keluar dari ribat dan selanjutnya mengadakan serta memimpin ribat serupa di tempat lain. Semakin banyak murid yang menerima ijazah semakin banyak pula kemungkinan berdirinya  ribat-ribat baru. Pada gilirannya, ribat yang baru menghasilkan guru-guru tarekat. Demikianlah, sebuah tarekat dengan sebuah ribat, yang berdiri di sebuah tempat dapat meluas ke berbagai penjuru dunia islam, dengan jumlah ribat yang banyak. Tidak semua cabang atau ranting suatu tarekat, menghubungkan tarekatnya  pada pada nama tokoh pendiri pertama, tetapi kepada syeikh pendiri cabang atau ranting itu sendiri. Itulah sebabnya, nama-nama tarekat yang bermunculan di dunia islam berpuluh atau beratus-ratus banyaknya.[6]
Di tinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun, Harun nasution menyatakan bahwa setelah Al-Ghozali menghalakan tasawwuf yang sebelumnya dikatakan sesat. Tasawwuf berkembag di dunia Islam , tetapi berkembangnya terjadi melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari sufi-sufi besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawwuf gurunya. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat. Ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawwufnya, ajaran tasawwuf walinya, dan ajaran tasawwuf syeikhnya.[7]
Dari sekian banyak tarekat yang muncul, antara lain:
a.       Tarekat Qodiriyah
Tarekan ini didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166, ia sering disebut al-Jilli. Tarekat ini banyak tersebar di dunia timur, Tiongkok, sampai ke pulau Jawa.
b.      Tarekat Rifa’iyah
Tarekat ini didirkan oleh syeikh Rifai’. Nama lengkapnya adalah ahmad bin Ali Abbas. Beliau wafat di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awwal tahun 578 H. Bertepatan dengan tanggal 23 September 1106 M. Ada pula yang mengatakan bahwasannya beliau meninggal pada bulan Rajab  tahun 512 H, bertepatan dengan bulan Nopember tahun 1118 M di Qoryah Hasan. Tarekat ini banyak tersebar di daerah Aceh, sumatra Barat, Jawa, Sulaweasi dan daerah- daerah lainnya.
c.       Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat ini didirikan oleh Muhammad bin Bahaudddin al-Uwaisi al-Bukhori.  Beliau wafat di Bukhara pada tahun 1389 M/791 H. Tarekat ini banyak tersebar  di Sumatra, Jawa, maupun Sulawesi.
d.      Tarekat Samaniyah
Tarekat ini didirikan oleh  Muhammad bin Abd. Al-Karim As-Samani. Tarekat ini banyak tersebar luas di Aceh, dan mempunyai pengaruh yang dalam di daerah ini, juga di Palembang dan daerah lainnya di Sumatra.
e.       Tarekat Syadiliyah
Tarekat ini didirikan oleh Abu Hasan as-Syadzili (593-656 H/1196-1258 M).
f.       Tarekat Khalawatiyah
Tarekat ini didirikan oleh Zahiruddin. Beliau wafat di Khurasan pada tahun 1397 M. Tarekat ini mula-mula tersiar di Banten  oleh Syeikh Yusuf al-Khalwati  al-Makasari pada masa pemerintah  Sultan agung Tirtayasa.
g.      Dan lain-lain

C.    Salah Satu Tarekat di Indonesia
Tarekat Naqsabandiyah
a.       Sejarah Tarekat Naqsabandiyah
Pendiri tarekat Naqsabandiyah[8]  adalah seorang pemuka tasawwuf terkenal yaitu Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhori Naqsabandi [9] (717 H/1318 M-791 H/1389 M), dilahirkan disebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhora tempat lahir Imam Bukhori. Di sini pula beliau wafat dan di makamkan.
 Beliau berasal dari lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syah, yangmana gelar tersebut menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah beliau lahir, beliau segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi, beliau menerimanya dengan gembira. Dan ketika Muhammad Baha’ al-Din berusia 18 tahun, ia belajar tasawwuf kepadanya.
Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhori (w. 772/1371). Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah perama belajar terekat yang didirikannya. Selain itu, Naqsabandi juga pernah belajar pada seorang arif bernama al-Dikkirani sekitar satu tahun. Ia pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun.
Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 784/1347 M, ia pergi ke Ziwartun. Disana ia mengembalakan binatang ternak selama tujuh tahun, dan tujuh tahun berikutnya dalam pekerjaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis.[10]
Berkaitan dengan jalan mistis yang ditempuhnya, Baha al-Din mengatakan bahwa ia berpegang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan para sahabatnya. Ia mengatakan bahwa sangatlah mudah mencapai puncak pengetahuan tertinggi tentang monoteisme (tauhid), tetapi sangat sulit mencapai makrifat yang menunjukkan perbedaan halus antara pangetahuan dan pengalaman spiritual.
Tarekat ini selain dikenal dengan tarekat Naqsabandiyah, dikenal juga dengan tarekat Khawajangan yang dinisbatkan kepada Abd. Khaliq Ghujdawani (w. 1220 M). Beliau adalah seorang sufi dan mursyid ditarekat tersebut dan merupakan kakek spritual al-Naqsabandiyah yang keenam. Beliau adalah peletak dasar ajaran tarekat ini. Yang kemudian ditambah oleh al-Naqsabandi. Ghujdawani hanya meumuskan delapan ajaran pokok kemudian al-Naqsabandiyah menambah tiga ajaran pokok, maka tarekat Naqsabandiyah menjadi sebelas.
Pusat perkembangan tarekat Naqsabandiyah berada di daerah Asia Tengah. Dan diduga keras bawa tarekat ini telah menyebar sejak abad 12 M dan sudah ada pemimpin laskar yang menjadi murid Ghujdwani.  Sehingga kerajaan ini berperan penting sebagai ajaran Timurid. Dan apalagi tarekat ini setelah dipimpin oleh Nashiruddin Ubaidillah al-Ahrar hampir seluruh wilayah Asia Tengah dikuasai oleh tarekat Naqsabandiyah.
Tarekat Naqsabandiyah mulai masuk ke India diperkirakan mulai pada masa pemerintahan  Babur yaitu pendiri kerajaan Munghal (w. 1530 M) di India. Karena masa kepemimpinan Ubaidillah al-Ahrar (Asia Tengah) Yunus Khan Mughal – paman Barbur- yang tinggal di pemukiman Mongol sudah menjadi pengikut tareka ini. Akan tetapi perkembangan di India baru mulai pesat setelah kepemimpinan Muhammad Baqi Billah (w. 1603 M).[11]
Masuknya tarekat Naqsabandiyah ke Mekkah justru  melalui India. Tarekat ini dibawa oleh Tajuddin Ibn Zakaria (w. 1050 H/ 1640 M) ke Mekkah. Pada abad XIX M, tarekat Naqsabandiyah memiliki pusat penyebaran di kota suci ini, sebagaimana terkat-tarekat besar yang lainnya. Sehingga di Arab pada masas ekarang, tarekat Naqsabandiyah memiliki tiga cabang besar, yaitu : Khalidiyah di Makkah, Mazhiriyah di Madinah dan Mujaddiyah (murni) di Mekkah.dari kedua kota suci ini kemudian tarekat naqsabandiyah ini masuk ke Indonesia. akan tetapi dari ketiga jalur (cabang) tersebut, jalur ketiganya tidak banyak diketahui keberadaannya di Indonesia.[12]
Ciri-ciri tarekat Naqsabandiyah, yaitu: Pertama keseriusan dalam beribadah sehingga menolak terhadap musik dan tari dan lebih menyukai berdzikir dalam hati. Kedua, upaya yang  serius dalam mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golaongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama.[13] 
b.      Cabang dari Tarekat Naqsabandiyah
Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat ini menyebar ke Turki, India dan Indonesia dengan nama baru sesuai dengan pendirinya dikawasan setempat. Di Indonesia tarekat yang merupakan cabang dari Naqsabandiyah, yaitu : [14]
1.      Tarekat Kholidiyah
2.      Tarekat Murodiyah
3.      Tarekat Mujaddiyah
4.      Tarekat Ahsaniyah

Sedangkan di dalam buku “Islam Sufistik” karangan Alwi Shihab halaman 175, dijelaskan bahwa cabang dari tarekat Naqsabandiyah terbesar di Indonesia adalah :
1.      Naqsabandiyah Madzhariyah
2.      Naqsabandiyah
3.      Qodariyah Naqsabandiyah

c.       Visi dan Misi tarekat Naqsabandiyah
Untuk menjaga konsistensi arah dan tujuan terakat, maka masing-masing tarekat memiliki pola dasar sikap dan prilaku  yang sekaligus merupakan identitas tarekat itu. Misalnya dalam tarekat Naqsabandiyah, ditemukan asas-asas ajaran dan pandangan, sebagai berikut:[15]
1.      Berpegang teguh pada akidah Ahlussunnah
2.      Meninggalkan rukhsoh dalam beribadah
3.      Mengikuti hukum yang jelas
4.      Menjaga diri agar senantiasa “bersama” Allah
5.      Zuhud dunia, menjauhi sikap dan usaha mencari kenikmatan duniawi atau yang bersifat bendawi
6.      Melatih diri untuk kemampuan ‘merasakan” kehadiran Allah dalam setiap tarikan nafas
7.      Uzlah, menyadari secara spiritual ditengah keramaian
8.      Berpenampilan sederhana
9.      Berakhlaq karimah dengan sesuai sunnah Rosulullah SAW
10.  Dzikir ikhfa, berzikir tanpa suara

d.      Teknik Spiritual Naqsabandiyah
Tarekat naqsabandiyah, memiliki tata cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual sendiri. Ajaran dasar thariqat Naqsabandiyah menurut Najmuddin Amin Al-Kurdi dalam kitabnya “Tanwirul Qulub”, terdiri atas 11 asas yang dikemukakan dalam bahasa Persi (bahasanya dari Khwajangan dan kebanyakan penganut Naqsabandiyah India); 8 berasal dari Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghajudwani dan 3 berasal dari Syiekh Muhammad Bahauddin Naqsabandiyah.[16]
Ajaran dasar tersebut adalah:
1.      Huwasy Dardam,”sadar sewaktu bernafas” yaitu menjaga diri dari kealpaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah. Apabila setiap keluar masuk nafas yang hadir beserta Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada Allah. Sebaliknya jikalau orang lupa, maka akan mengakibatkan orang akan jauh dari Allah.
2.      Nazhar Barqadam, “menjaga langkah” yaitu orang yang menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat kearah kaki. Dan apabila duduk, tidak memandang ke kiri atau ke kanan. Sebab memandang kepada aneka ragam ukiran dan warna dapat melalaikan orang dari mengingat Allah. Apalagi orang yang baru berada ditingkat permulaan new comer), karena belum mampu memelihari hatinya.
3.      Safar Darwathan,”melakukan perjalanannya di tanah kelahirannya” yaitu berpindah dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada sifat-sifat malaikat yang terpuji.
4.      Khalwat Dar Anjaman, “sepi ditengah keramaian” yaitu berkhalwat.  Berkhalwat terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Khalwat Lahir, yaitu orang yang bersuluk mengasingkan diri ke sebuah tempat terisih dari masyarakat ramai.
b.      Khalwat Batin, yaitu mata hatimenyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergaulan sesama makhluk.
5.      Yad Krad, “ingat atau menyebut” yaitu berdzikir terus menerus mengingat Allah, baik dzikir ismu zat (menyebut Allah, Allah), maupun dzikir nafi itsbat (menyebut La Ilaha Ila Allah), smpai yang disebut dalam dzikir itu hadir.
6.      Baz Gasht, “kembali”, “memperbarui” yaitu sesudah menghela (melepaskan) nafas, orang yang berdzikir itu kembali berumanajat mengucapkan kalimat yang mulia Ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi.  Hal ini dilakukan untuk mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur). Sewaktu mengucapkan dzikir, makna dari kalimat ini harus senantiasa berada dihati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang paling halus kepada Allah semata. Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki dan semua makhluk ini lenyap dari pandangannya.
7.      Nigah Dasyt, “waspada” yaitu setiap murid harus menjaga hatinya dari sesuatu yang melintas, walau sekejap karena lintasan atau getaran kalbu dikalangan ahli-ahli thariqat adalah satu perkara besar.
8.      Yad Dasyt, “mengingat kembali” yaitu tawajuh (menghadapkan diri) kepada nur dzat Allag Yang Maha Esa tanpa berkata-kata. Pada hakikatnya mengahdapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada nur dzat Allah itu tiada lurus, kecuali sesudah fana’ (hilang kesadaran diri) yang sempurna.

Adapun tuga asas lainnya yang berasal dari Syiekh Baha al-Din Naqsabandi adalah:
1.      Wuquf Zamani, “memeriksa pengguna waktu” yaitu orang yang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan dengan teratur keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali. Apabila ternyata keadaannya terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir dan melakukan yang terpuji maka hendaklah ia bersyukur kepadaNya. Sebaliknya apabila keadaannya dalam alpa atau lalai dan melakukan perbuatan dosa, maka harus segera minta ampun dan tobat kepada Allah, serta kembali kehadiran hati yang sempurna.
2.      Wukuf ‘Adadi, “memeriksa hitungan dzikir” yaitu dengan penuh hati (konsrentasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada dzikir nafi itsbat, 3 atau 5 sampai 21 kali.
3.      Wuquf Qolbi, “menjaga hati tetap terkontrol” yaitu kehadiran hati serta kebenaran tiada yang tersisa, sehingga perhatian seseorang secara sempurna sejalan dengan dzikir dan maknanya. Selain kebenaran Allah dan tiada menyimpang dari makna dan perhatian dzikir. Lebih jauh dikatakan bahwa hati orang yang berdzikir itu berhenti (wuquf) menghadap Allah dan bergumul dengan lafadz-lafadz dan makna dzikir.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tarekat Nagsabandiyah merupakan tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh besar terhadap masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Pendiri tarekat Naqsabandiyah adalah seorang pemuka tasawwuf terkenal yaitu Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhori Naqsabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M), dilahirkan disebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhora tempat lahir Imam Bukhori.
Tarekat ini memiliki ajaran dasar, yaitu; Huwasy Dardam, Nazhar Barqadam, Safar Darwathan, Yad Krad, Baz Gasht, Nigah Dasyt, Yad Dasyt, Khalwat Dar Anjaman, Wuquf Zamani, Wukuf ‘Adadi, Wuquf Qolbi.
Tarekat ini lebih memilih dzikir qolbi daripada dzikir lisan karena peranan hati dalam kehidupan sangat menentukan. Hati adalah tempat iman, sumber cahaya dan penuh dengan rahasia. Jika hati baik, niscaya anggota tubuh yang lain akan menjadi baik dan apabila hati ini kotor atau tidak baik maka seluruh anggota tubuh akan kotor dan tidak baik.


Daftar Pustaka
Aqib, Kharisuddin. Al-Hikmah Memahami Teosofi tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, Surabaya : Dunia Ilmu, 2000, cet.2.
Mulyati, Sri dkk. Tarekat - Tarekat Maktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, cet. 3.
Nata, Abuddin, Akhlaq Tasawwuf, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2006.
 Said, Fuad.  Hakikat Tarekat Naqsabandiyah, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996, cet. 2.
Siregar, Rivay. Tasawwuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2002, cet. II.
Shihab, Alwi. Islam Sufistik “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, Bandung: Mizan, 2001, cet. I.



[1] Sri Mulyati dkk. Mengenal dan Meamahami Tarekat-tarekat Maktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006.hal 6.
[2] Ibid.6.
[3] Rosihon anwar. Akhlaq Tasawwuf, Bandung: Pustaka Setia. 2009. 200.
[4] Abuddin  Nata, Akhlaq Tasawwuf, Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2006. 270.
[5] Sri Mulyati dkk, Mengenal dan Meamahami Tarekat-tarekat Maktabarah di Indonesia, 9.
[6] Rosihon anwar. Akhlaq Tasawwuf, 204.
[7] Ibid.205.
[8] Diambil dari nama pendirinya Baha al-Din Naqsabandi. Dlam dunia tarekat diakui bahwa pendiri tarekat adalah para tokoh yang mensistematisasikan ajaran-ajaran, metode,ritus dan amalan secara eksplisit tarekat tersebut. Tetapi tokoh tersebut tidaklah dipandang sebagai pencipta tarekat itu, melainkan hanya mengolah ajaran-ajaran yang telah diturunkan kepada mereka melalui garis keguruan terus sampai pada Nabi sendiri.
[9] Naqsaband secara harfiah berarti “pelukis, penyulam, penghias”. Jika nenek mereka adalah penyulam, nama itu mungkin mengacu pada profesi keluarga; jika tidak hal itu menunjukkan kualitas spiritualnya untuk melukis nama Allah di atas hati seorang murid.
[10] Sri Mulyati dkk, Mengenal dan Meamahami Tarekat-tarekat Maktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 90.
[11] Kharisudin Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, (Surabaya : Dunia Ilmu, 2000), cet.2, 51.
[12] Ibid.52.
[13] Sri Mulyati dkk, Mengenal dan Meamahami Tarekat-tarekat Maktabarah di Indonesia, 91.
[14] . Rivay Siregar, Tasawwuf  Dari Sufisme Klasik ke Neo sufisme, (Jakarta : RjaGrafindo Persada,2002), cet.2, 267.
[15] Ibid, 272.
[16] Fuad Said,  Hakikat Tarekat Naqsabandiyah, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996,47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar