BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad ke-2 Hijriyah tasawwuf mulai muncul. Tasawwuf terus
berkembang dan meluas dan mulai terkena pengaruh luar. Salah satunya yaitu
pengaruh filsafat, baik filsafat Yunani, India maupun Persia. Setelah abad ke-2
Hijriyah muncul golongan sufi yang
mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqorrub kepada
Allah.
Kemudian para sufi
membedakan pengertian syariah, thariqot, haqiqat, dan makrifat. Menurut mereka
syariah adalah untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, thoriqah yaitu untuk
memperbaiki amalan-amalan bathin (hati), sedangkan haqiqat untuk mengamalkan
segala rahasia yang gaib dan ma’rifat yaitu mengenal hakikat Allah baik zat,
sifat maupun perbuatanNya[1].
Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul tarekat
sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah
tarekat selalu dihubungkan dengn nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad
itu. Setiap tarekat punya syeikh, cara dzikir dan upacara ritual masing-masing.
Biasanya syaikh atau mursyid mengajar murid-muridnya di asrama untuk latihan
rohani yang dinamakan rumah suluk atau ribath.[2]
Tarekat-tarekat yang muncul diantaranya seperi tarekat Qodariyah
yang didirikan oleh Syeik Abdul Qodir al-Jailani (wafat di Irak padAa tahun
1161 M/561 H ), tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad ar-Rifai’(
wafat di Irak pada tahun 1182 M/578 H ), tarekat Syadziliyah yang didirikan
oleh Syeikh ahmad asy-Syadzili (wafat di
Mesir pada tahun 1258 M/658 H), tarekat Naqsabandiyah yang didirikan oleh
syeikh Bahauddin Naqsabandi (wafat di Bukhara pada tahun 1389 M/791 H) dan
masih banyak tarekat-tarekat yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa arab “Thariqah” yang artinya
jalan, cara atau aliran. Tarekat adalah
jalan yang ditempuh para sufi dn dapat digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syariat. Sebab, jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan
disebut thariq.
Kata turunan ini menunjukkan
bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang
terdiri dari hukum ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tak mungkin ada
anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal; pengalaman mistik tak
mungkin diperoleh bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati
terlebih dahulu dengan seksama. Dengan kata lain, tarekat adalah perjalanan
seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau
perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan siri sedekat
mungkin kepada Tuhan.[3]
Sedangkan menurut Harun Nasution menyatakan bahwa tarekat berasal
dari kata “thariqah”, yaitu jalan yang hahrus ditempuh oleh seorang sufi dalam
tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah.[4]
Sebuah tarekat biasanya terdiri dari pensucian bathin, kekeluargaan
tarekat, upacara keagamaan dan kesadaran sosial. Yang dimaksud pensucian jiwa
adalah melatih rohani dengan hidup zuhud, menghilang kan sifat-sifat jelek yang
menyebabkan dosa, mengisi sifat-sifat terpuji, taat menjalankan perintah agama,
menjauhi larangan, taubat atas segala dosa dan intropeksi. Kekeluargaan tarekat
biasanya terdiri dari syeikh tarekat, syeikh mursyid (khalifahnya), mursyid
sebagai guru tarekat, murid dan guru pengikut serta ribath (zawiyah) tempat
latihan, kitab-kitab, sistem dan metode zikir. Upacara keagamaan bisa berupa
baiat, ijazah atau khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan thariqat,
talqin,wasiat yang diberikan dan dialihkan seorang syeikh tarekat kepada
murid-muridnya.[5]
B.
Sejarah Munculnya Tarekat
Peralihan tasawuf yang
bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari
perkembangan dan perluasan tasawwuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawwuf, semakin
banyak pula orang yang berhasrat mempelajarinya. Untuk itu, mereka menemui
orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam pengalaman
tasawwuf yang dapat menuntun mereka. Sebab, belajar dari seorang guru dengan
metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman dalam suatu ilmu yang
bersifat praktikal adalah suatu keharusan bagi mereka. Seorang guru tasawwuf
biasanya memang menformulasikan suatu sistem pengajaran tasawwuf berdasarkan
pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemudian menjadi ciri has
bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain.
Perluasan tarekat biasanya berlansung karena adanya murid yang
telah dipandang berhasil oleh syeikh mencapai tingkatan tertinggi akan
memperoleh ijazah (suatu pengakuan boleh menjadi guru tarekat) dari syeikh
tersebut. Pemegang ijazah itu keluar dari ribat dan selanjutnya mengadakan
serta memimpin ribat serupa di tempat lain. Semakin banyak murid yang menerima
ijazah semakin banyak pula kemungkinan berdirinya ribat-ribat baru. Pada gilirannya, ribat yang
baru menghasilkan guru-guru tarekat. Demikianlah, sebuah tarekat dengan sebuah
ribat, yang berdiri di sebuah tempat dapat meluas ke berbagai penjuru dunia
islam, dengan jumlah ribat yang banyak. Tidak semua cabang atau ranting suatu
tarekat, menghubungkan tarekatnya pada
pada nama tokoh pendiri pertama, tetapi kepada syeikh pendiri cabang atau
ranting itu sendiri. Itulah sebabnya, nama-nama tarekat yang bermunculan di
dunia islam berpuluh atau beratus-ratus banyaknya.[6]
Di tinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang
mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun,
Harun nasution menyatakan bahwa setelah Al-Ghozali menghalakan tasawwuf yang
sebelumnya dikatakan sesat. Tasawwuf berkembag di dunia Islam , tetapi
berkembangnya terjadi melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari sufi-sufi
besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran
tasawwuf gurunya. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut
ribat. Ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran
tasawwufnya, ajaran tasawwuf walinya, dan ajaran tasawwuf syeikhnya.[7]
Dari sekian banyak tarekat yang muncul, antara lain:
a.
Tarekat
Qodiriyah
Tarekan
ini didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166, ia sering disebut
al-Jilli. Tarekat ini banyak tersebar di dunia timur, Tiongkok, sampai ke pulau
Jawa.
b.
Tarekat
Rifa’iyah
Tarekat
ini didirkan oleh syeikh Rifai’. Nama lengkapnya adalah ahmad bin Ali Abbas.
Beliau wafat di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awwal tahun 578 H.
Bertepatan dengan tanggal 23 September 1106 M. Ada pula yang mengatakan
bahwasannya beliau meninggal pada bulan Rajab
tahun 512 H, bertepatan dengan bulan Nopember tahun 1118 M di Qoryah
Hasan. Tarekat ini banyak tersebar di daerah Aceh, sumatra Barat, Jawa,
Sulaweasi dan daerah- daerah lainnya.
c.
Tarekat
Naqsabandiyah
Tarekat
ini didirikan oleh Muhammad bin Bahaudddin al-Uwaisi al-Bukhori. Beliau wafat di Bukhara pada tahun 1389 M/791
H. Tarekat ini banyak tersebar di
Sumatra, Jawa, maupun Sulawesi.
d.
Tarekat
Samaniyah
Tarekat
ini didirikan oleh Muhammad bin Abd. Al-Karim
As-Samani. Tarekat ini banyak tersebar luas di Aceh, dan mempunyai pengaruh
yang dalam di daerah ini, juga di Palembang dan daerah lainnya di Sumatra.
e.
Tarekat
Syadiliyah
Tarekat
ini didirikan oleh Abu Hasan as-Syadzili (593-656 H/1196-1258 M).
f.
Tarekat
Khalawatiyah
Tarekat
ini didirikan oleh Zahiruddin. Beliau wafat di Khurasan pada tahun 1397 M.
Tarekat ini mula-mula tersiar di Banten
oleh Syeikh Yusuf al-Khalwati
al-Makasari pada masa pemerintah
Sultan agung Tirtayasa.
g.
Dan
lain-lain
C.
Salah Satu Tarekat di Indonesia
Tarekat Naqsabandiyah
a.
Sejarah
Tarekat Naqsabandiyah
Pendiri tarekat Naqsabandiyah[8] adalah seorang pemuka tasawwuf terkenal yaitu
Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhori Naqsabandi [9] (717
H/1318 M-791 H/1389 M), dilahirkan disebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4
mil dari Bukhora tempat lahir Imam Bukhori. Di sini pula beliau wafat dan di
makamkan.
Beliau berasal dari
lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syah, yangmana gelar tersebut
menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah
beliau lahir, beliau segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi, beliau
menerimanya dengan gembira. Dan ketika Muhammad Baha’ al-Din berusia 18 tahun,
ia belajar tasawwuf kepadanya.
Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu
Amir Sayyid Kulal al-Bukhori (w. 772/1371). Kulal adalah seorang khalifah
Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah perama belajar terekat yang didirikannya.
Selain itu, Naqsabandi juga pernah belajar pada seorang arif bernama
al-Dikkirani sekitar satu tahun. Ia pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa
Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun.
Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 784/1347 M, ia pergi ke
Ziwartun. Disana ia mengembalakan binatang ternak selama tujuh tahun, dan tujuh
tahun berikutnya dalam pekerjaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai
bagian dari pendidikan dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber
rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan
pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis.[10]
Berkaitan dengan jalan mistis yang ditempuhnya, Baha al-Din
mengatakan bahwa ia berpegang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan para
sahabatnya. Ia mengatakan bahwa sangatlah mudah mencapai puncak pengetahuan
tertinggi tentang monoteisme (tauhid), tetapi sangat sulit mencapai makrifat
yang menunjukkan perbedaan halus antara pangetahuan dan pengalaman spiritual.
Tarekat ini selain dikenal dengan tarekat Naqsabandiyah, dikenal
juga dengan tarekat Khawajangan yang dinisbatkan kepada Abd. Khaliq Ghujdawani
(w. 1220 M). Beliau adalah seorang sufi dan mursyid ditarekat tersebut dan
merupakan kakek spritual al-Naqsabandiyah yang keenam. Beliau adalah peletak
dasar ajaran tarekat ini. Yang kemudian ditambah oleh al-Naqsabandi. Ghujdawani
hanya meumuskan delapan ajaran pokok kemudian al-Naqsabandiyah menambah tiga
ajaran pokok, maka tarekat Naqsabandiyah menjadi sebelas.
Pusat perkembangan tarekat Naqsabandiyah berada di daerah Asia
Tengah. Dan diduga keras bawa tarekat ini telah menyebar sejak abad 12 M dan
sudah ada pemimpin laskar yang menjadi murid Ghujdwani. Sehingga kerajaan ini berperan penting
sebagai ajaran Timurid. Dan apalagi tarekat ini setelah dipimpin oleh
Nashiruddin Ubaidillah al-Ahrar hampir seluruh wilayah Asia Tengah dikuasai
oleh tarekat Naqsabandiyah.
Tarekat Naqsabandiyah mulai masuk ke India diperkirakan mulai pada
masa pemerintahan Babur yaitu pendiri
kerajaan Munghal (w. 1530 M) di India. Karena masa kepemimpinan Ubaidillah
al-Ahrar (Asia Tengah) Yunus Khan Mughal – paman Barbur- yang tinggal di
pemukiman Mongol sudah menjadi pengikut tareka ini. Akan tetapi perkembangan di
India baru mulai pesat setelah kepemimpinan Muhammad Baqi Billah (w. 1603 M).[11]
Masuknya tarekat Naqsabandiyah ke Mekkah justru melalui India. Tarekat ini dibawa oleh
Tajuddin Ibn Zakaria (w. 1050 H/ 1640 M) ke Mekkah. Pada abad XIX M, tarekat
Naqsabandiyah memiliki pusat penyebaran di kota suci ini, sebagaimana
terkat-tarekat besar yang lainnya. Sehingga di Arab pada masas ekarang, tarekat
Naqsabandiyah memiliki tiga cabang besar, yaitu : Khalidiyah di Makkah,
Mazhiriyah di Madinah dan Mujaddiyah (murni) di Mekkah.dari
kedua kota suci ini kemudian tarekat naqsabandiyah ini masuk ke Indonesia. akan
tetapi dari ketiga jalur (cabang) tersebut, jalur ketiganya tidak banyak
diketahui keberadaannya di Indonesia.[12]
Ciri-ciri tarekat Naqsabandiyah, yaitu: Pertama keseriusan
dalam beribadah sehingga menolak terhadap musik dan tari dan lebih menyukai
berdzikir dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam mempengaruhi kehidupan dan
pemikiran golaongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama.[13]
b.
Cabang
dari Tarekat Naqsabandiyah
Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat ini menyebar ke Turki,
India dan Indonesia dengan nama baru sesuai dengan pendirinya dikawasan
setempat. Di Indonesia tarekat yang merupakan cabang dari Naqsabandiyah, yaitu
: [14]
1.
Tarekat
Kholidiyah
2.
Tarekat
Murodiyah
3.
Tarekat
Mujaddiyah
4.
Tarekat
Ahsaniyah
Sedangkan di dalam buku “Islam Sufistik” karangan Alwi
Shihab halaman 175, dijelaskan bahwa cabang dari tarekat Naqsabandiyah terbesar
di Indonesia adalah :
1.
Naqsabandiyah
Madzhariyah
2.
Naqsabandiyah
3.
Qodariyah
Naqsabandiyah
c.
Visi
dan Misi tarekat Naqsabandiyah
Untuk menjaga konsistensi arah dan tujuan terakat, maka
masing-masing tarekat memiliki pola dasar sikap dan prilaku yang sekaligus merupakan identitas tarekat
itu. Misalnya dalam tarekat Naqsabandiyah, ditemukan asas-asas ajaran dan
pandangan, sebagai berikut:[15]
1.
Berpegang
teguh pada akidah Ahlussunnah
2.
Meninggalkan
rukhsoh dalam beribadah
3.
Mengikuti
hukum yang jelas
4.
Menjaga
diri agar senantiasa “bersama” Allah
5.
Zuhud
dunia, menjauhi sikap dan usaha mencari kenikmatan duniawi atau yang bersifat
bendawi
6.
Melatih
diri untuk kemampuan ‘merasakan” kehadiran Allah dalam setiap tarikan nafas
7.
Uzlah,
menyadari secara spiritual ditengah keramaian
8.
Berpenampilan
sederhana
9.
Berakhlaq
karimah dengan sesuai sunnah Rosulullah SAW
10.
Dzikir
ikhfa, berzikir tanpa suara
d.
Teknik
Spiritual Naqsabandiyah
Tarekat naqsabandiyah, memiliki tata
cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual sendiri. Ajaran dasar thariqat
Naqsabandiyah menurut Najmuddin Amin Al-Kurdi dalam kitabnya “Tanwirul Qulub”,
terdiri atas 11 asas yang dikemukakan dalam bahasa Persi (bahasanya dari
Khwajangan dan kebanyakan penganut Naqsabandiyah India); 8 berasal dari Syeikh
Abdul Khaliq Al-Ghajudwani dan 3 berasal dari Syiekh Muhammad Bahauddin
Naqsabandiyah.[16]
Ajaran dasar tersebut adalah:
1.
Huwasy
Dardam,”sadar sewaktu bernafas” yaitu
menjaga diri dari kealpaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu
merasakan kehadiran Allah. Apabila setiap keluar masuk nafas yang hadir beserta
Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada
Allah. Sebaliknya jikalau orang lupa, maka akan mengakibatkan orang akan jauh
dari Allah.
2.
Nazhar
Barqadam, “menjaga langkah” yaitu orang yang
menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat kearah
kaki. Dan apabila duduk, tidak memandang ke kiri atau ke kanan. Sebab memandang
kepada aneka ragam ukiran dan warna dapat melalaikan orang dari mengingat Allah.
Apalagi orang yang baru berada ditingkat permulaan new comer), karena belum
mampu memelihari hatinya.
3.
Safar
Darwathan,”melakukan perjalanannya di tanah
kelahirannya” yaitu berpindah dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada
sifat-sifat malaikat yang terpuji.
4.
Khalwat
Dar Anjaman, “sepi ditengah
keramaian” yaitu berkhalwat. Berkhalwat
terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Khalwat
Lahir, yaitu orang yang bersuluk mengasingkan diri ke sebuah tempat terisih
dari masyarakat ramai.
b.
Khalwat
Batin, yaitu mata hatimenyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergaulan
sesama makhluk.
5.
Yad
Krad, “ingat atau menyebut” yaitu
berdzikir terus menerus mengingat Allah, baik dzikir ismu zat (menyebut Allah,
Allah), maupun dzikir nafi itsbat (menyebut La Ilaha Ila Allah), smpai yang
disebut dalam dzikir itu hadir.
6.
Baz
Gasht, “kembali”, “memperbarui” yaitu
sesudah menghela (melepaskan) nafas, orang yang berdzikir itu kembali
berumanajat mengucapkan kalimat yang mulia Ilahi anta maqshudi wa ridhaka
mathlubi. Hal ini dilakukan untuk
mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang
(melantur). Sewaktu mengucapkan dzikir, makna dari kalimat ini harus senantiasa
berada dihati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang paling halus kepada
Allah semata. Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki dan
semua makhluk ini lenyap dari pandangannya.
7.
Nigah
Dasyt, “waspada” yaitu setiap murid harus
menjaga hatinya dari sesuatu yang melintas, walau sekejap karena lintasan atau
getaran kalbu dikalangan ahli-ahli thariqat adalah satu perkara besar.
8.
Yad
Dasyt, “mengingat kembali” yaitu tawajuh
(menghadapkan diri) kepada nur dzat Allag Yang Maha Esa tanpa berkata-kata.
Pada hakikatnya mengahdapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada nur dzat
Allah itu tiada lurus, kecuali sesudah fana’ (hilang kesadaran diri) yang
sempurna.
Adapun tuga asas lainnya yang berasal dari Syiekh Baha al-Din
Naqsabandi adalah:
1.
Wuquf
Zamani, “memeriksa pengguna waktu” yaitu orang
yang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan dengan teratur
keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali. Apabila ternyata keadaannya
terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir dan melakukan yang terpuji maka
hendaklah ia bersyukur kepadaNya. Sebaliknya apabila keadaannya dalam alpa atau
lalai dan melakukan perbuatan dosa, maka harus segera minta ampun dan tobat
kepada Allah, serta kembali kehadiran hati yang sempurna.
2.
Wukuf
‘Adadi, “memeriksa hitungan dzikir” yaitu
dengan penuh hati (konsrentasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada dzikir nafi
itsbat, 3 atau 5 sampai 21 kali.
3.
Wuquf
Qolbi, “menjaga hati tetap terkontrol”
yaitu kehadiran hati serta kebenaran tiada yang tersisa, sehingga perhatian
seseorang secara sempurna sejalan dengan dzikir dan maknanya. Selain kebenaran
Allah dan tiada menyimpang dari makna dan perhatian dzikir. Lebih jauh
dikatakan bahwa hati orang yang berdzikir itu berhenti (wuquf) menghadap Allah
dan bergumul dengan lafadz-lafadz dan makna dzikir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tarekat Nagsabandiyah merupakan tarekat yang mempunyai dampak dan
pengaruh besar terhadap masyarakat muslim di berbagai wilayah yang
berbeda-beda. Pendiri tarekat Naqsabandiyah adalah seorang pemuka tasawwuf
terkenal yaitu Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhori
Naqsabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M), dilahirkan disebuah desa Qashrul
Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhora tempat lahir Imam Bukhori.
Tarekat ini memiliki ajaran dasar, yaitu; Huwasy Dardam, Nazhar
Barqadam, Safar Darwathan, Yad Krad, Baz Gasht, Nigah Dasyt, Yad Dasyt, Khalwat
Dar Anjaman, Wuquf Zamani, Wukuf ‘Adadi, Wuquf Qolbi.
Tarekat ini lebih memilih dzikir qolbi daripada dzikir lisan karena
peranan hati dalam kehidupan sangat menentukan. Hati adalah tempat iman, sumber
cahaya dan penuh dengan rahasia. Jika hati baik, niscaya anggota tubuh yang
lain akan menjadi baik dan apabila hati ini kotor atau tidak baik maka seluruh
anggota tubuh akan kotor dan tidak baik.
Daftar Pustaka
Aqib, Kharisuddin. Al-Hikmah
Memahami Teosofi tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, Surabaya : Dunia Ilmu,
2000, cet.2.
Mulyati, Sri dkk. Tarekat - Tarekat Maktabarah di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006, cet. 3.
Nata,
Abuddin, Akhlaq Tasawwuf, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2006.
Said, Fuad. Hakikat Tarekat Naqsabandiyah,
Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996, cet. 2.
Siregar, Rivay. Tasawwuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme,
Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2002, cet. II.
Shihab,
Alwi. Islam Sufistik “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia, Bandung: Mizan, 2001, cet. I.
[1]
Sri Mulyati dkk. Mengenal dan Meamahami Tarekat-tarekat Maktabarah di
Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006.hal 6.
[2]
Ibid.6.
[3]
Rosihon anwar. Akhlaq Tasawwuf, Bandung: Pustaka Setia. 2009. 200.
[4]
Abuddin Nata, Akhlaq Tasawwuf, Jakarta:
Rajagrafindo Persada. 2006. 270.
[5]
Sri Mulyati dkk, Mengenal dan Meamahami Tarekat-tarekat Maktabarah di
Indonesia, 9.
[6]
Rosihon anwar. Akhlaq Tasawwuf, 204.
[7]
Ibid.205.
[8]
Diambil dari nama pendirinya Baha al-Din Naqsabandi. Dlam dunia tarekat diakui
bahwa pendiri tarekat adalah para tokoh yang mensistematisasikan ajaran-ajaran,
metode,ritus dan amalan secara eksplisit tarekat tersebut. Tetapi tokoh
tersebut tidaklah dipandang sebagai pencipta tarekat itu, melainkan hanya
mengolah ajaran-ajaran yang telah diturunkan kepada mereka melalui garis
keguruan terus sampai pada Nabi sendiri.
[9]
Naqsaband secara harfiah berarti “pelukis, penyulam, penghias”. Jika nenek
mereka adalah penyulam, nama itu mungkin mengacu pada profesi keluarga; jika
tidak hal itu menunjukkan kualitas spiritualnya untuk melukis nama Allah di atas
hati seorang murid.
[10]
Sri Mulyati dkk, Mengenal dan Meamahami Tarekat-tarekat Maktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 90.
[11]
Kharisudin Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi tarekat Qodiriyah Wa
Naqsabandiyah, (Surabaya : Dunia Ilmu, 2000), cet.2, 51.
[12]
Ibid.52.
[13]
Sri Mulyati dkk, Mengenal dan Meamahami Tarekat-tarekat Maktabarah di
Indonesia, 91.
[14]
. Rivay Siregar, Tasawwuf Dari Sufisme
Klasik ke Neo sufisme, (Jakarta : RjaGrafindo Persada,2002), cet.2, 267.
[15]
Ibid, 272.
[16]
Fuad Said, Hakikat Tarekat
Naqsabandiyah, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996,47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar