Oleh:
M.
Bik Muhtaruddin
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya
pasti saling bertentangan.[1] Ungkapan ini
sangat penting dalam rangka memahami
dan menafsirkan ayat-ayat
serta ketentuan-ketentuan yang
ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat
lebih dan terbagi
dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis
pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat, sejarah,
dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan
larangan. Masalah-masalah yang disebutkan terakhir
ini, tampak jelas
dengan adanya ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya
dan saling menjelaskan.
Dalam kaitan itu, Imām Suyuṭī maupun Imām Syaṭibī banyak mengulas prinsip
tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya
tiap ayat atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari
al-Qur'an tidak ada kontradiksi (ta'aruḍ). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'aruḍ) yang demikian merupakan asas metode penafsiran dimana Nāskh-Mansūkh merupakan salah satu bagiannya.
BAB
I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum Muslim yang diyakini berisi wahyu-
yang otentik dari Allah. Doktrin ini menempatkan kitab suci ini sebagai sumber
utama ajaran Islam dan menjadi pedoman hidup abadi dan universal. Abadi berarti
terus berlaku sampai akhir zaman, sedangkan universal syari’atnya berlaku
untuk seluruh dunia tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis.
Dengan doktrin ini diyakini bahwa kandungan-kandungannya baik yang berkenaan
dengan akidah, moral, termasuk masalah hukum adalah berlaku sepanjang masa.
Hanya saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan
diskusi para ulama karena adanya perbedaan masalah yang mereka tekankan.
Sebagian ulama melihat bahwa faktor kesucian Al-Qur’an yang paling
menonjol, sedangkan yang lainnya melihat faktor kelanggengan Al-Qur’an dalam
menjawab setiap tuntutan situasi dan kondisi.
Di antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan
mereka adalah nasikh dan mansukh. Diskursus tentang konsep nasikh mansukh
sampai saat ini masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Pertanyaan pokoknya
adalah apakah ada nasikh mansukh dalam Alquran? Persoalan ini bernuansa
ikhtilaf (baca: kontradiksi) di kalangan ulama. Sebagian ulama menolak konsep
nasakh, namun sebagian mendukung konsep nasakh tersebut, bahkan yang terbanyak
dari mereka berpendapat dan berkeyakinan bahwa tidak semua ayat Alquran yang
berkenaan dengan hukum itu masih berlaku, sebab di antara ayat-ayat tersebut
sudah ada yang dinasakh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Na>sakh dan Mansu>kh
Membahas
mengenai na>sakh tidak dapat terlepas dari dua sudut pandang, yaitu
dari sisi etimologi dan terminologi. Sebelum membahas lebih dalam, hendaknya
dipahami bahwa na>sakh jika di tilik dari sisi kata asal dari dua
kata, yaitu na>sakh dan mansu>kh.
Sedangkan na>sakh secara etimologi memiliki arti yaitu:
1.
Menghilangkan :[2]
Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata: نسخت
الشمس الظل “ cahaya
matahari menghilangkan bayang-bayang ”. dan seperti firman Allah dalam surat al-Haj ayat 52 :
فينسخ الله ما يلقى الشيطان “maka Allah menghilangkan apa yang syaitan nampakkkan ”
2.
Memindahkan
نسخت الكتا ب. ومنه قوله تعالى ( إ نا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون )
Saya memindahkan (
menyalin ) apa yang ada dalam buku
Dari segi Istilah, kata na>sakh
berarti mengangkat, menghapus hukum syara' dengan dalil hukum syara' yang lain.
Na>sakh juga dipakai dalam beberapa arti antara lain pembatalan,
penghapusan, pemindahan dari satu sisi ke sisi lain ataupun pengubahan dan
sebagainya.[3]
Sedangkan
mansu>kh dari sisi etimologi adalah sesuatu yang diangkat,
dibatalkan, dipindahkan dan dihapus, inilah sekedar pemabacaan dasar. Sedangkan
secara terminologi, para ulama berbeda pendapat, sebagaimana ulama mutaqaddimi>n
memperluas arti nasakh, sehingga mencakup :
1.
Membatalkan hukum yang ditetapkan terdahulu
oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2.
Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh
hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
3.
Penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu
yang belum bersyarat.
4.
Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum
yang bersifat samar
Ada diantara para ulama yang beranggapan bahwa
suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh kondisi tertentu telah menjadi mansu>kh
apabila ada ketentuan lain.[4]
Sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan
hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.
Sedangkan
ulama muta’akhiri>n mempersempit pengertian mansu>kh,
menurut mereka mansu>kh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah
yang ditetapkan terakhir.
Namun
apabila di pahami lagi secara terminologi, sebagaimana pemahaman Quraish Ṣiha>b; nasakh
ialah
pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain . Dalam arti
bahwa kesemua ayat al-Qur’a>n tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada
hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang
berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap
dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka
semula. Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga
ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat di jalankan oleh mereka yang
kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.[5]
Setelah memahami pengertian
Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana
cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qaṭṭan memberikan rumusan bahwa
Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
a.
Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi.
b.
Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di nāsakh
dan ayat yang Di mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil
tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada
ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
c.
Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua.
Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah
ketika menghadap Rasul.
B. Perbedaan Na>sakh, Takhṣiṣ, Bada’
Nashiruddin
Baidan membedakan antara nasakh dengan
takhsis dengan sebagai berikut:
1.
Na>sakh
a.
Satuan yang terdapat dalam na>sakh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat
dalam mansukh
b.
Na>sakh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan
yang tercakup dalam dalil mansukh
c.
Na>sakh hanya terjadi dengan dalil yang datang
duluan
d.
Na>sakh menghapuskan hubungan mansukh
dalam rentang waktu yang tidak terbatas
e.
Setelah terjadi na>sakh, seluruh satuan yang terdapat dalam na>sakh
tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh
2.
Takhṣiṣ
a. Satuan yang terdapat
dalam takhṣiṣ merupakan
bagian dari satuan yang terdapat dalam lafad’amm
b. Takhṣiṣmerupakan hukum
dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm
c. Takhṣiṣ dapat terjadi
baik dengan yang kemudian maupunmenyertai dan mendahului
d. Takhṣiṣ tidak
menghapus hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku
meskipun sudah dikhususkan
e. Setelah terjadi takhṣiṣ, sisa satuan
yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm
Sedangkan bada’ mempunyai arti الظهور بعد
الخفاء (menampakkan setelah
tersembunyi),[6]
hal ini tersirat dalam firman Allah surat Jāthiyyah ayat 33:
وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا عَمِلُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا
كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُون
Dan nyatalah bagi mereka
keburukan-keburukan apa yang mereka kerjakan
Arti lain dari bada’ adalah
نشأة رأي جديد لم يكن موجود
(munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Pengertian ini,
merujuk pada firman Allah surat Yusuf ayat 35:
ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِنْ
بَعْدِ مَا رَأَوُا الْآَيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ
Kemudian timbul pikiran dalam diri mereka setelah
melihat tanda-tanda kebenaran Yusuf bahwa mereka harus memenjarakannya sampai
suatu waktu.
Dari kedua definisi tersebut, dapat dilihat perbedaan yang sangat jelas
dengan hakikat nāsikh. Dalam bada’ timbulnya hukum
tentang kemungkinan munculnya hukum baru disebabkan ketidak tahuan sang pembuat
hukum tentang kemungkinan munculnya hukum baru tersebut. Ini tentu berbeda
dengan nāsikh, sebab dalam nāsikh, bagi para ulama mengakui
keberadaan Allah ẓat yang maha mengetahui adanya
nāsikh dan mansukh senjak jaman azali, dimana sebelum
diturunkan kepada manusia.[7]
C. Ragam Na>sakh dalam Al-Qur’an
1. Na>sakh s}a>rih}, ialah naskh yang jelas tentang berakhirnya
atau berubahnya suatu hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat shalat, dimana
pada awalnya menghadap ke baital maqdis dan pada akhirnya diubah menghadap ke
Ka’bah. (QS. 2:150).
2. Na>sakh D{imni> (implisit), yaitu jika terdapat dua teks yang
saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah
masalah yang sama, dan diketahui bahwa turunnya tidak sekaligus pada waktu
tertentu, maka ayat yang datang kemudian mengganti ayat yang terdahulu.
Mislanya QS: 2:234 tentang iddah isteri yang ditinggal mati oleh suaminya,
yakni empat bulan sepuluh hari, ayat tersebut menaskh QS: 2:240 tentang wasiat
suami terhadap isteri, bahwa ia tidak boleh keluar rumah selama satu tahun.
3. Na>sakh Kulli>, yaitu penggantian atau pembatalan
terhadap teks hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya
pembatalan wajibnya wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat (QS: 2:180) oleh
ayat mawa>rith (QS: 4:11-14).
4. Na>sakh Juz'i>, yaitu penggantian atau pembatalan sebagian
hukum syara’ yang umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya
berlaku bagi sebagian individu . Contoh hukum delapan puluh kali bagi orang
yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi.
و
الذين يرمون المحصنت ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمنين ولا تقبلوا لهم
شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون.[9]
Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Ketentuan ini diganti dengan ketentuan li'an
yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh. Akan tetapi
bentuk-bentuk contoh ini kalau ditelaah lebih mendalam bukanlah nasakh dalam
arti yang sebenarnya, namun lebih cenderung terhadap bentuk takhs}i>s} atau
taqy>id. Sebagaimana bentuknya:
و الذين يرمون أزواجهم و لم يكن
لهم شهداء الا انفسهم فشهادة أحدهم أربع
شهادت بالله إنه لمن الصد قين.[10]
Dan orang yang menuduh
istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.
Sedangkan dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas
ulama membagi na>sakh kepada tiga macam, yaitu :[11]
- Na>sakh terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang tergolong kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya, riwayat al-Bukha>ri> dan Muslim, yaitu hadis ‘A<’ishah r.a yang mengatakan :
((كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات يحرمن فنسخن بخمس معلومات)).
فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم ((وهن مما يقرأ من القرآن)).
Sebagaimana yang diturunkan (ayat
al-Qur’a>n) kepadanya adalah sepuluh rad}a'a>t (isapan menyusui)
yang diketahui, kemudian di na>sakh dengan lima (isapan
menyusui) yang diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat lima susuan ini termasuk
sebagian dari al-Qur’a>n yang dibaca.
2. Na>sakh
terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. semisal ajakan para
penyembah berhala dari kalangan musyrik pada umat Islam untuk saling bergantian
dalam beribadah telah dihapus oleh ketentuan ayat qita>l. Akan tetapi
bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat al-Ka>firu>n:6,
sebagaimana berikut :
لكم دينكم و لي دين[12]
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku
3.
Nasakh terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku
Adapun dari sisi otoritas yang lebih berhak
menghapus sebuah nas}, para ulama membagi nāsakh ke
dalam empat macam yaitu :
a)
Nāsakh al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n. Nāsakh seperti
ini ulama sepakat akan kebolehannya.
b)
Nāsakh al-Qur’a>n dengan al-Sunnah. Bagi kalangan
ulama Hanafiyah, nasakh semacam ini diperbolehkan bila sunnah yang menghapusnya
berkedudukan mutawa>tir atau mashhu>r.
c)
Nāsakh al-Sunnah dengan al-Qur’a>n. Menurut ahli
us}u>l, nāsakh semacam ini betul-betul terjadi seperti peralihan
kiblat dalam salat dari Bait al-Muqaddas ke Ka'bah.
Nasakh al-Sunnah dengan al-Sunnah. Bagi al-Qat}t}a>n
pada dasarnya ketentuan nasakh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan
tidak diperkenankan.[13] Fokus pembahasan ini ialah mengenai Naskh al-Hukm Dun
al-Tilawah, yaitu persoalan ada atau tidaknya perubahan hukum dari satu
ayat dengan ayat lain, ketika ayat tersebut terpisah dalam proses al-Nuzul-nya.
Naṣiruddin
Baidan mengutip pendapatnya Abu Zahra, memberikan syarat bagi nas yang dapat
dinasakh dan mansukh[14]
yaitu antara lain :
a. Hukum yang di Mansukh
adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan
manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam
al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa
perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’.
Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’ ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c. Dalil atau ayat yang di mansukh harus datang setelah dalil
yang di hapus.
d. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil
pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan
D. Pendapat Ulama Tentang Na>sakh dan Mansu>kh
Persoalan Nāsikh
dalam al-Qur’an ini, bermula
dari pemahaman ayat “seandainya al-Qur’an ini datangnya bukan dari Allah,
niscaya mereka akan menemukan kontradiksi yang sangat banyak”. (QS. al-Nisa ;
82). Ayat ini ingin mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak mempunyai
perbedaan-perbedaan yang signifikan antara satu ayat dengan yang lainnya.
Sementara di tempat lain, al-Qur’an mengatakan “setiap ayat yang kami nasikh
atau yang kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, tentu kami ganti dengan yang
lebih baik padanya atau yang sebanding dengannya” (QS. al-Baqarah : 106).
Abu Muslim al-Asyfahani, menolak anggapan bahwa ayat yang
sepintas kotradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-mansukh. Lantas
ia, mengajukan proyek takhsis sebagai antitesa Nasikh-Mansukh. Menurutnya
al-Qur’an adalah syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada yang mansukh. “Tidak
datang kepadanya kebatilan al-Qur’an baik dari depan maupun dari belakang yang
diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS.
al-Fushilat : 42). Artinya, jika sekiranya didalam al-Qur’an terdapat ketentuan
yang telah di-nasakh, maka sebagian hukum ayat al-Qur’an juga akan
dibatalkan. Sementara syari’at dalam al-Qur’an itu bersifat kekal. Karena ia
berlaku sepanjang masa.
Fakhru al-razi dan Muhammad ‘Abduh, juga termasuk yang
memandang bahwa istilah Nasikh-Mansukh tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Alasan mereka disandarkan pada ayat al-Qur’an “Dan bacakanlah apa yang
diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu. Tidak ada seorangpun yang dapat
merubah kalimat–Nya”. (QS. al-Kahfi : 27). Hanya kemudian, Muhammad ‘Abduh
menggunakan istilah tabdil, penggantian, pengalihan, atau pemindahan
ayat hukum ditempat ayat hukum yang lain, bukan nasakh dalam pengertian
pembatalan.
Sementara itu, sebagaian Ulama’ berkeyakinan bahwa didalam al-Qur’an terdapat
pembatalan hukum, Nasikh-Mansukh. Ibn Jarir menafsirkan ayat “dan
apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya,
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya”, sebagai “Kami
angkat ia, lalu Kami turunkan lainnya”. Sedangkan al-Syuyuti mengartikannya
sebagai “Allah menurunkan perkara dalam al-Qur’an kemudian mengangkatnya”.
Ibn Katsir
menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menafikan Nasikh-Mansukh, karena
ia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja sesuai dengan
keinginan-Nya. Hal ini, pula ditegaskan oleh Quraish Shihab, bahwa Allah tidak
me-nasakh dalam arti membatalkan suatu hukum yang dikandung oleh satu
ayat, kecuali Allah akan mendatangkan ayat lain yang mengandung hukum lain yang
lebih baik atau serupa.
Berbeda dengan yang lain, al-Ṭabaṭaba’i mengatakan bahwa pertentangan antara dua naṣ dalam nāsakh
pada dasarnya merupakan
pertentangan lahir, bukan pertentangan yang hakiki (esensi). Alasan al-Ṭabaṭaba’i ini
didasarkan pada al-Qur’an Surat al-Nisa ; 82. Ia menegaskan Nasakh pada
dasarnya bukan termasuk (yang terjadi karena) pertentangan dalam perkataan (qawl),
dan ia juga tidak (terjadi karena) pertentangan (ikhtilaf) dalam
pandangan hukum, melainkan terjadi karena pertentangan dalam muṣadaq
(kriteria) dari segi dapat
diterapkannya hukum pada suatu hari, karena adanya mahslahat didalamnya. Dan
dari segi tidak dapat diterapkannya pada suatu hari yang lain karena
bergantinya kemashlahatan dari kemashlahatan yang lain yang mewajibkan hukum
yang lain pula”. Oleh karena itu, al-Ṭabaṭaba’i beranggapan
bahwa nasakh pada dasarnya tidak hanya khusus terdapat pada hukum-hukum
syari’at, melainkan juga dapat terjadi terhadap takwiniyyah (persoalan-persoalan
kosmo).
Para ulama dalam menanggapi hal tersebut
terbagi atas empat golongan :[15]
1.
Orang Yahudi. Mareka tidak mengakui adanya
nasakh, karena menurut mereka naskh mengandung konsep al-bada>’,
yakni kelihatan setelah tidak tampak (tidak jelas) dan hal ini mustahil bagi
Tuhan.
2.
Orang Si’ah Rafidah, Mereka terlalu over dalam
menetapkan nasakh dan
memberikan pemahaman terlalu luas tanpa ada batasan. Bahan rujukan dari
argumentasi mereka adalah ungkapan yang dinisbahkan kepada ‘Ali> r.a secara
dusta dan palsu.[16]
Mereka juga berpegang pada firman Allah Q.S al-Ra'd, ayat 39, yakni :
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ
وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَاب
Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),
dan disisi-Nya-lah
terdapat ummu al-kitab (lawh mahfu>z}).[17]
3.
Abu> Muslim al-As}fahani>, Secara logika
beliau menerima nasakh tetapi dalam syara' tidak. Dikatakan pula bahwa
ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam al-Qur’a>n berdasarkan firman-Nya dalam Q.S
Fus}s}ila>t ayat 42, yakni:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيد
Yang
tidak datang kepadanya (al-Qur’an)
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan
yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.[18]
4.
Jumhur ulama. Mereka berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi dalam
hukum-hukum syara’.
Di antara tokoh yang menolak adanya nāsakh adalah
‘Ali> bin Husain bin Muhammad yang dikenal dengan nama Ibnu Farj
al-As}fahani yang menegaskan bahwa al-Qur’an tidak sedikitpun tersentuh oleh
pembatalan, jika nasakh itu diartikan dengan pembatalan maka jelas tidak
ada dalam al-Qur’a>n. Adapun dalil-dalil yang dijadikan bahan rujukan dalam
al-Qur’a>n diperlukan adanya reinterpretasi, sebab didalamnya
terkandung berbagai konotasi dan dalil-dalil tersebut bisa saja dita’wil sesuai
konteks ayat-ayat sesudah dan sebelumnya.[19]
Sedangkan Muhammad Abdu>h sedikit berbeda
dalam memahami naskh, yaitu dengan memberikan pemahaman tabdi>l
(penggantian) dan tah}wi>l (mengubah) serta al-Naql
(memindahkan). Hal ini sesuai dengan pengertian naskh secara etimologi.
Atas dasar inilah al-Asfahanī lebih
suka menyebut naskh dengan istilah takhs}i>s} (pengkhususan)
meskipun ulama pendukung naskh tidak menyetujuinya.
BAB
III
KESIMPULAN
Dengan
berdasarkan pemaparan diatas dapat diberikan kesimpulan yaitu bahwa :
Nasakh secara
etimologi adalah iza>lat (menghilangkan), tabdi>l (menukar),
tah}wi>l (mengubah) dan al-Naql (memindahkan), Sedangkan secara terminologi adalah menghapus,
mengganti, serta membatalkan hukum syara dengan dalil hukum yang lain yang
lebih kuat. Sedangkan metode untuk mengetahui na>sakh dan mansu>kh
antara lain : a) keterangan tegas dari nabi,
b) kesepakatan ulama
tentang ayat ini na>sakh dan yang lainnya mansu>kh,
c) mengetahui mana yang
lebih dahulu turun dalam perspektif historiy.
Dilihat dari segi ragam nāsakh terbagi
atas s}a>rih, z}imni>, kulli> dan juz’i>.
Dalam bentuknya nāskh terbagi tiga, yakni hukum dan bacaan secara
bersamaan, hukumnya saja serta bacaanya saja. Jenis nāskh secara
terperinci, yakni al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n, al-Qur’a>n dengan al-sunnah,
al-sunnah dengan al-Qur’a>n dan al-sunnah dengan al-sunnah. Sedangkan Para ulama
dalam menanggapi permasalan nāskh, ada yg menerima ada yg menolan dan ada yg
memperincinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi>, Ah}mad Must}afa>, Tafsi>r
al-Maraghi>. Mesir: Al-Halabi>, 1946. Vol.1
Al-Qat}t}a>n,
Manna>’ Khali>l, Maba>h}ith fi> ‘U>lu>m al-Qur’a>n. Riya>d}:
Manshura>t al-‘As}r al-Hadi>th, 1973.
Al-Zarqani>, Muh}ammad Abd Az}i>m, Mana>hil
al-‘Irfa>n fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n. Libanon: Dar al-Kutub
al-Qutaybah, tt. Vol.1.
Baidan,
Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Zain, Muh}ammad Jami>l, Kayfa Nafham
al-Qur’a>n terj. Salafuddin A.J, Bagaimana Memahami al-Qur’a>n
Pustaka al-Kauthar.
Anwar, Abu, ‘Ulum al-Qur'an Sebuah
Pengantar, Amzah, 2005.
ash-Shidieqy,
Hasbi, Ilm-ilmu Al-Qur’an Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Shihab, M. Quraish, Membumikan
Al-Qur'an Bandung: Mizan, 1993.
Baidan, Nashiruddin, Ulum Qur’an Bandung:
Pustaka Setia, 2006.
[1] QS. Al-Nisa: 82
[2]Abu Anwar, ‘Ulum al-Qur'an Sebuah Pengantar, Cet II
(Amzah, 2005), 48.
[3] Hasbi ash-Shidieqy, Ilm-ilmu Al-Qur’an Media-media
Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 149.
[4]Muh}ammad ‘Abd
al-‘Az}i>m al-Zarqani>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulum
al-Qur'a>n.Vol.2. (Mesir: Dar Qutaybah, t.t ), 254.
[5]M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1993),
144.
[8]Shihab, Membumikan
Al-Qur'an, 172-173
[9]Al-Qur’a>n dan
Terjemahnya, (Madinah Munawwarah: Mujamma' al-Malik Fah}d li T{iba'a>t
al Mus}haf, 1426 H), Q.S. al-Nu>r ( 24 ) ayat 4
[11]Al-Qat}t}a>n,
Manna>’ Khali>l, Maba>h}ith fi> ‘U>lu>m al-Qur’a>n,
238-239
[12]Al-Qur’a>n dan Terjemahnya,
(Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Pentafsir Al-Qur’an, 1971),
1112
[13]Al-Qat}t}a>n,
Manna>’ Khali>l, Maba>h}ith fi> ‘U>lu>m al-Qur’an,
236-237
[15]Al-Qat}t}a>n, U>lu>m
al-Qur’an, 234-236
[16]Tentang dialog seorang qa>d}i>
dengan sekumpulan orang, yang kemudian dikeritik oleh ‘Ali> ra. lewat sebuah
pertanyaan tentang pemahaman akan keilmuan tentang nasakh.
[17]Al-Qur’a>n dan
Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Pentafsir
al-Qur’a>n, 1971), 376
[19]Nashruddin Baidan,
Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 177-178