Selasa, 15 Mei 2012


                  FAKTOR-FAKTOR PENTINGNYA PENELITITAN HADIS
A.      Pendahuluan
Sumber ajaran Islam yang pokok adalah al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan yang penting dalam kehidupan umat Islam. Walaupun terdapat perbedaaan dari segi penafsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya dijadikan rujukan. Dari keduanya ajaran Islam diambil dan dijadikan pedoman utama. Oleh karena itu, kajian-kajian terhadapnya tak akan pernah keruh bahkan terus berjalan dan berkembang seiring dengan kebutuhan Islam. Melalui terobosan-terobosan baru, kajian ini akan terus mewarnai khazanah perkembangan studi keislaman dalam pentas sejarah umai Islam.
Berbeda dengan al-Qur’an yang benar-benar tidak diragukan kebenarannya, hadis menyisakan beragam persoalan karena pada zaman Nabi hadis tidaklah tertulis, disamping berbagai faktor lainnya. Banyak kearguan yang diarahkan pada hadis nabi. Keraguan tentang otentisitas hadis membahayakan kedudukan sunnah. Jika dinyatakan bahwa sebuah hadis tidak otentik, maka secara otomatis maka hadis tersebut hilang hujiyahnya. Mengakui hujiyahnya sebuah hadis berarti menerima ketertarikan untuk mengamalkan hadis tersebut. Sedangkan maragukan hujiyyah hadis berarti ada ketidak puasan terhadap ajaran-ajaran Islam.
 Disinilah maka penelitian hadis penting dilakukan karena sosok hadis sendiri merupakan salah satu ajaran Islam. maka dalam makalah ini penulis ingin mencoba menguraikan secara singkat latar belakang atau bisa dikatakan faktor pentingnya penelitian hadis.


B.       Faktor-Faktor Pentingnya Penelititan Hadis
Ada beberapa faktor yang menjadikan pentingnya penelitian hadis, yaitu: 
a).  Hadis Nabi Sebagai Salah Satu Sumber Ajaran Islam
Hadis merupakan sumber ajaran Islam selain al-Quran karena hadis sebagai penjelas dari al-Quran.  Dengan meyakini bahwa hadis merupakan bagian dari ajaran islam, maka penelitian hadis khususnya hadis ahad sangat penting. Penelitian tersebut dilakukan untuk menghindarkan dari pemakaian dalil-dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW. [1]
Pada zaman al-Syafi’i, golongan inkar al-sunnah muncul. Mereka menyatakan, sumber ajaran islam hanyalah al-quran saja. Faktor yang mendorong munculnya paham inkar al-sunnah  yaitu ketidakpahaman mereaka tentang berbagai hal yang berkenaan dengan ilmu hadis. Faktor ini tidak hanya terlihat pada mereka yang berpaham inkar al-sunnah pada zaman al-Syafi’i saja akan tetapi pada masa berikutnya, termasuk di dalamnya kelompok pengingkar al-sunnah di Indonesia dan Malaysia.[2]
Para pengingkar al-sunnah berargumen cukup banyak. Argumen-argumen tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu, argumen-argumen nagly dan non nagly. Adapun  argumen-argumen nagly, yaitu :
1.      (a)                                           ....  &äóÓx«    Èe@ä3Ïj9 $YZ»uö;Ï? |=»tGÅ3ø9$#  šøn=tã $uZø9¨tRur...........
Artinya : Dan kami turunkan kepadamu al-kitab (al-quran) untuk menjelaskan segala sesuatu. (Q.S. al-Nahl : 89)
$¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« (b)
Artinya : Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-kitab. (Q.A. al-An’am: 38)
Menurut mereka, ayat-ayat tersebut dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa  al-Quran telah  mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama.[3]

2.      Hadis Nabi menyatakan, bahwa pada suatu masa akan bertebaran berita yang disandarkan kepada Nabi. Nabi memberi petunjuk, agar berita tersebut dikonfirmasikan dengan al-Quran. Apabila berita itu sesuai dengan al-Quran, berarti berita itu berasal dari Nabi; dan apabila berita itu bertentangan dengan al-Quran berarti itu tidak berasal dari Nabi. Menurut mereka, berdasarkan riwayat tersebut maka yang harus dipegangi bukanlah hadis Nabi melainkan al-Quran, jadi dalam hal ini hadis tidak berstatus sebagai sumber ajaran islam.[4]
Argumen-argumen non nagly, yaitu [5]:
1.      Menurut sejarah umat islam mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut dikarenakan mereka terpecah belah. Perpecahan terjadi karena umat islam berpegang pada hadis Nabi, jadi hadis Nabi merupakan sumber kemunduran umat islam.
2.      Kitab-kitab hadis menghimpun dongeng-dongeng semata. Sebab, hadis Nabi lahir sesudah lama Nabi wafat. Dalam sejarah, sebagian hadis baru muncul pada zaman al-tab’iin dan at-ba’ al-tabi’in.  Yakni sekitar 40 atau 50 tahun sesudah Nabi wafat.
3.      Kritik sanad yang dikenal dalam ilmu hadis  sangat lemah untuk menentukan kesahihan hadis.

b). Tidak Seluruh Hadis Tertulis Pada Zaman Nabi SAW
Sejarah periwayatan hadis Nabi berbeda dengan periwayatan al-Quran. Periwayatan al-Quran dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara umum. Setelah mendengar ayat-ayat al-Quran para sahabat langsung mengahafalnya. Dikala itu para sahabat ada yang membuat catatan ayat-ayat tersebut, para pencatat ada yang sengaja diperintah oleh Nabi dan ada karena inisiatif mereka sendiri. Kemudian secara berkala, hafalan sahabat diperiksa oleh Nabi.
Adapun periwayatan hadis pada masa itu, Nabi melarang para sahabat untuk menulis hadis karena takut bercampur dengan al-Quran. Dikala para sahabat ada yang menulis hadis, Nabi memerintahkan sahabat tersebut agar mengahapus seluruh catatan selain ayat al-quran. Akan tetapi pada kesempatan lain, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Jika dilihat dari kebijaksanaan Nabi dapatlah dinyatakan, bahwa pada masa itu hanya sebagian saja periwayatan hadis berlangsung secara tertulis pada masa Nabi.
Pada zaman Nabi memang telah ada bebarapa sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis. Akan tetapi catatan-catatan itu tidak seragam sebab catatan tersebut dibuat berdasarkan inisiatif masing-masing sahabat dan kesempatan mereka berada di sisi Nabi tidak selalu bersamaan waktunya. Sahabat-sahabat Nabi yang memiliki catatan hadis, diantaranya adalah Ali Bin Abi Tholib (W 40 H=661 M), Sumrah Ibnu Jundab (wafat 60 H= 685 M), Abdullah Ibn Amr Ibn al-‘As (W 65 H= 685 M).[6]
Dengan demikian, bahwa hadis Nabi pada zaman nabi belum seluruhnya tertulis. Hadis yang dicatat oleh para sahabat hanya sebagian saja dari seluruh hadis yang ada. Jadi, periwayatan hadis pada zaman Nabi lebih banyak dalam bentuk lisan daripada bentuk tulisan. Dalam hal ini, sanad hadis menduduki peranan yang penting dalam periwayatan hadis.[7]

c). Merebaknya Pemalsuan Hadis Pada Masa Periwayatan
Tidak diragukan lagi, para pemalsu hadis dalam melakukan aktifitasnya terdorong oleh berbagai factor. Factor-faktor itu bisa muncul secara disengaja atau tidak disengaja, oleh karenanya dibawah ini masing-masing akan diperinci lagi.

1. Sebab-sebab yang disengaja dalam pemalsuan hadis
Pertama, niat untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dalam hal ini yang berperan adalah orang-orang zindiq. Mereka sengaja menciptakan hadis-hadis palsu sebagai serangan terhadap Allah dan Rasulullah SAW. Dengan tindakan seperti itu mereka mengira bahwa akidah umat Islam akan hancur dan agama Islam itu sendiri akan porak-poranda.[8] Contohnya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibn al-Jauzy di dalam al-Maudhu’at, dari Ibn Umar dari Nabi saw., beliau bersabda: “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla belum pernah marah. Tetapi bila Dia marah, maka semua malaikat akan bersenjata karena kemarahan itu. Dan bila Dia menengok ke bumi, lalu melihat anak-anak sedang membaca al-Quran maka Ia menjadi lega.” Ibn al-Jauzy berkomentar: “Harus diyakini bahwa Allah swt. Tidak akan terpengaruh oleh sesuatupun. Dia juga tidak mempunyai sifat yang baru dan sikap yang baru pula. Karenanya, tidak ada alasan bagi para malaikat untuk mengambil senjata, yang seakan-akan ingin melawan sifat Allah swt. Hal itu mereka maksudkan untuk mencela Islam dan menyebarkan keraguan kepada para pemeluknya.
 Contoh lain yang dikemukakan oleh Ibn al-Jauzy adalah hadis palsu yang beliau kutip dari Ibn Hibban, bahwa Ayyub ibn Abdussalam seorang zindiq pernah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa Allah swt. Tatkala marah, maka ‘arasy akan bergerak-gerak, sehingga terasa berat bagi para malaikat yang menyangganya. Lebih lanjut, Ibn al-Jauzy berkata: “saya menilai, bahwa dia pasti seorang atheis yang sengaja menyusupkan keraguan (skeptis) ke dalam hati kaum Muslimin, yang tentu saja dengan hadis-hadis palsu seperti itu. Orang-orang zindiq yang paling terkenal memalsukan hadis adalah Abdul Karim ibn Abu al-‘Auja’, Bayan Ibn Sam’an al-Mahdiy, dan Muhammad Ibn Sa’id al-Mashlub.[9]

Kedua, Pembelaan terhadap aliran yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pembelaan terhadap aliran politik
Pertentangan-pertentangan politik dikalangan para sahabat menimbulkan adanya berbagai aliran. Masing-masing aliran berusaha membuat hadis palsu demi membela aliran yang bersangkutan, terutama tentang pandangan politiknya. [10] seperti hadis berikut:
((عليّ خير البشر، من شكّ فيه كفر))[11]

b. Pembelaan terhadap agama
Persoalan-persoalan keagamaan, baik berkenaan dengan akidah, ushul, atau furu’ atau yang lain telah memasuki ruang perdebatan. Sehingga memunculkan hadis-hadis palsu yang mengukuhkan suatu pendapat atau bahkan menolak pendapat lain yang bertentangan, berkenaan dengan qadar, jabar, ikhtiyar, dengan bentuk penjelasan yang sangat terperinci, yang tidak mungkin merupakan cara Nabi SAW. Dalam menjelaskan sesuatu. Bahkan ada hadis yang secara tegas menyebutkan nama sebuah aliran tertentu dan nama pemimpinnya sekaligus.[12]


c. Pembelaan terhadap aliran geografis
Ketika sedang marak pemalsuan hadis, tidak ada satu Negara besarpun yang tidak menjadi ajang pemalsuan hadis berkenaan dengan Negara tersebut. Makkah, Madinah, Syam, Baitul Maqdis, Parsi, Mesir, dan lain-lain adalah daerah-daerah yang menjadi ajang pemalsuan hadis, dengan segala bentuk keutamaan yang ditampilkan. Namun demikian tidak berarti tidak ada hadis shahih yang isinya berkenaan dengan pembelaan terhadap suatu daerah. Bahkan Rasulullah sendiri pernah mengungkapkan keutamaan kota Makkah dan Madinah. Beliau juga pernah mengungkapkan keutamaan penduduk Yaman, yang menurut beliau mereka adalah orang-orang yang paling halus dan lembut hati.[13] Diantara contoh hadis palsu dalam hal ini adalah:

((أبغض الكلام إلى الله الفارسية وكلام أهل الجنة العربية))[14]

Ketiga, terdorong oleh motif-motif duniawi sebagaimana diuraikan berikut ini.
i). Ingin mendekati penguasa. Dengan tujuan ini seseorang yang akan membuat hadis palsu yang sesuai dengan keinginan penguasa yang dimaksud, sebagai upaya untuk meraih harta dan jabatan.[15] Seperti hadis berikut:
((لا سبق الا في نصل أوخف أو حافر أو جناح)) فزاد كلمة ((أو جناح)) لأجل المهدي، فعرف المهدي ذلك، فأمر بذبح الحمام. وفال: أنا حملته على ذلك.[16]
ii). Mencari pendukung (Massa). Motif ini termasuk motif duniawi, sebab periwayat (pemalsu) hadis akan merasa gagah dan bangga terhadap dirinya sendiri, tatkala banyak orang berdatangan kepadanya untuk meriwayatkan hadis darinya. Seorang periwayat akan bangga membuat hadis-hadis (palsu) yang belum pernah mereka dengar.[17] Seperti hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dahiyah dan Hammad an-Nasibi.[18]

Keempat, at-Targhib wa at-Tarhib (usaha untuk membuat orang mencintai kebajikan dan takut melakukan kemaksiatan).[19] Contoh hadis sebagai berikut :
فقد روي ابن حبان فى الضعفاء عن ابن مهدي قال : قلت لميسرة بن عبد ربه: من أين جئت بهذه الآحاديث، من قرأ كذا فله كذا؟ قال: وضعتها أرغّب النّاس.[20]
Beberapa orang zahid, ahli ibadah, ataupun orang-orang saleh melihat adanya kelesuan di kalangan masyarakat terhadap tindakan kebaikan. Sebaliknya, mereka terpengaruh oleh kemegahan duniawi. Karena itulah mereka membuat hadis palsu, yakni atas nama Nabi Muhammad, membuat orang-orang mencintai al-Quran dan ibadah, serta membuat mereka jera terhadap perbuatan-perbuatan maksiat, dengan anggapan bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang akan mendatangkan pahala dari sisi Allah swt. Contohnya adalah sebuah hadis panjang yang berisi keutamaan-keutamaan al-Quran, surat demi surat. Nuh Ibn Abi Maryam mengaku telah membuat hadis palsu itu. Hal itu dilakukannya dengan alasan orang-orang telah banyak berpaling dari al-Quran dan menyibukkan diri dengan fiqh Abu Hanifah dan Maghazi Ibn Ishaq. Kemudian hadis itu diriwayatkan oleh pemalsu yang lain.[21]
Kelompok pemalsu ini telah merusak akal kaum awam, mengacaukan hakikat agama dan merancukan ukuran-ukuran perbuatan, serta merupakan kelompok yang paling berani memalsukan hadis. Sebab menurut anggapan mereka, mereka melakukannya demi kebaikan.[22]

2. Sebab-sebab yang tidak disengaja dalam pemalsuan hadis
Pertama, terjadinya kekeliruan atau kesalahan pada diri periwayat. Kadang-kadang, betapapun tsiqahnya seorang periwayat, bisa jadi terjerumus dalam kekeliruan atau kesalahan. Sehingga bisa terjadi ia memarfu’kan suatu hadis kepada Nabi saw., yang sebenarnya hanya merupakan perkataan sahabat atau yang lain. Tetapi hadis semacam ini, kadang-kadang disebut hadis palsu, namun kadang-kadang disebut syibh al-maudlu’ (semi palsu) .[23]
Diantara bukti adanya kesalahan yang terkenal adalah pernyataan Ibn Abbas r.a., bahwa Nabi saw. Mengawini Maimunah pada saat beliau sedang Ihram. Demikian pula riwayat Tsabit Ibn Musa, yang berbunyi: Barangsiapa banyak melakukan sholat dimalam hari, maka mukanya akan tampak ceria di siang harinya.[24]
Kedua, penyusupan hadis palsu dalam karya periwayat oleh orang lain tanpa sepengetahuan dirinya. [25]
Sudah kita ketahui bersama, bahwa periwayat tsiqat menurut terminology ulama hadis adalah orang adil lagi dlabit. Sedangkan dlabit sendiri terbagi menjadi dua yaitu dlabt shadr (kuat hafalan) dan dlabt sathr (kekuatan tulisan atau catatan). Sebagian ahli hadis yang diganggu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, dengan menyusupkan hadis-hadis munkar ke dalam koleksi hadis mereka. Tanpa sepengetahuan mereka dan tanpa mereka sadari, mereka meriwayatkan hadis itu benar-benar dari diri mereka.[26]
Perlu diketahui oleh pembaca, bahwa ada faktor yang sangat kuat mempengaruhi seseorang untuk memalsukan hadis, yaitu bahwa pada permulaan periwayatan, orang-orang tidak bersedia menerima ilmu kecuali yang bersambung pada al-Quran dan al-Hadis. Sedangkan ilmu-ilmu selain itu, bagi mereka tidak ada artinya sama sekali. Hukum-hukum halal dan haram sekalipun, bila hanya berdasar ijtihad, bagi mereka tidak ada artinya, kecuali yang memiliki dasar dalam hadis. Umumnya mereka akan membuang begitu saja pernyataan yang tidak berasal dari al-Quran dan al-Hadis. Bahkan cara itu telah manjadi tradisi di kalangan sementara orang waktu itu. Demikian pula filsafat yang berasal dari India, Yunani, Persi, atau dari para pensyarah Taurat dan Injil, tidak akan diperhitungkan sama sekali. Karena itulah para pemalsu hadis berinisiatif membungkus ajaran-ajaran seperti itu dengan bungkus agama, sehingga orang-orang bisa menerimanya. Sepertinya mereka memandang, bahwa hadis adalah satu-satunya celah untuk memalsukan ajaran mereka. Dari situlah mereka akan menyebarkan ajaran mereka kepada masyarakat waktu itu. Mereka tidak memiliki rasa takut sedikitpun kepada Allah swt. Karena itulah dalam hadis anda dapat menemukan berbagai bentuk hukum fiqh, filsafat India, filsafat Yunani, ataupun ajaran-ajaran ala Yahudi atau Nashrani.[27]

d). Proses Penghimpunan Hadis Yang Memakan Waktu Lama
Dalam sejarah, penghimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz (W. 101 H/720 M),[28] sebelum khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat, ulama hadis yang berhasil melaksanakan perintah khalifah adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (W. 124 H/742 M). Seorang ulama terkenal di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab karya az-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya.[29]
Pada sekitar pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Di berbagai kota besar seperti Makkah, Madinah, dan Basrah Telah muncul karya-karya himpunan hadis. Puncaknya terjadi sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah.[30]
Dengan demikian, jarak waktu antara masa penghimpunan hadis dan wafatnya nabi cukup lama. Hal itu membawa akibat bahwa berbagai hadis yang dihimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang seksama untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak bertanggungjawab validitasnya.[31]

e). Jumlah Kitab Hadis Yang Banyak Dengan Metode Penyusunan Yang Beragam
Jumlah hadis yang disusun oleh para ulama’ periwayat hadis cukup banyak. Jumlah itu sangat sulit dipastikan angkanya sebab mukharijul hadis (ulama yang meriwayatkan hadis sekaligus melakukan penghimpunan hadis) tidak terhitung banyaknya, apalagi, sebagian para penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu kitab. Di antara kitab-kitab tersebut ada yang beredar luas di masyarakat sampai zaman sekarang, ada yang cukup sulit ditemukan, dan ada yang telah hilang.[32]
Metode penyusunan kitab-kitab himpunan hadis juga ternyata tidak seragam. Hal itu memang logis sebab yang lebih ditekankan dalam kegiatan penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan hadisnya.
Masing-masing mukharrij memiliki metode tersendiri-sendiri baik dalam sistematika penulisan dan topik yang dikemukakan oleh hadis yang dihimpunnya, maupun kriteria tentang peringkat kualitas kitab kitab himpunan hadis tersebut, misalnya al-kutub al-khamsah, al-kutub assitah, al-kutub al-sab’ah.
Dalam kriteria yang beragam terhadap hadis-hadis yang dihimpun dalam hadis-hadis terebut, maka kualitas hadisnya menjadi tidak selalu sama. Untuk mengetahui apakah hadis-hadis yang termuat dalam berbagai kitab himpunan tersebut berkualitas shahih atau tidak shahih, diperlukan kegiatan penelitian. Dengan melaksanakn penelitian akan terhindar sedapat mungkin penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi kriteria sebagai hujah. Apalagi, kualitas para periwayat yang termuat  dalam berbagai sanad bagi hadis yang dihimpun dalam kitab itu bermacam-macam; ada yang memenuhi syarat dan ada yang tidak memenuhi syarat.

f). Periwayatan Hadis Bi Al-Ma’na
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna. Misalnya, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud(wafat 32h/625M). Anas bin Malik (wafat 93 H/ 711 M), Abu Darda’ (wafat 32 H/625 M), abu Hurairah ( wafat 58H/678H) dan Aisyah (wafat 58H/ 678). Paar sahabat Nabi yang melarang periwayatan bil makna, misalnya Umar bin Khattab, abdullah bin Umar bin Khattab, dam Zaid bin Arqam.
Perbedaan pandangan tentang periwayatan hadis secara makna itu terjadi juga di kalangan ulama sesudah zaman sahabat. Ulama yang membolehkan periwayatan bil makna menekankan pentingnya pemenuhan syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya periwayatan yang bersangkutan harus mendalam pengetahuannya tentang bahasa Arab, hadis yang diriwayatkan bukanlah bersifat ta’abbudi, umpamanya bacaan shalat, dan periwayatan secara makna dilakukan karena sangat terpaksa. Dengan demikian periwayatan hadis secara makna tidaklah berlangsung secara longgar, tetapi cukup ketat.
Walaupun cukup ketat syarat periwayatan hadis secara makna, namun kebolehan tersebut memberi petunjuk bahwa matn hadis yang diriwayatkan secara makna telah ada dan bahkan banyak.[33] Padahal untuk mengetahui kandungan petunjuk hadis tetentu, diperlukan terlebih dahulu mengetahui susunan redaksi dari hadis yang bersangkutan. Khususnya yang berkenaan dengan hadis qauli (hadis yang berupa sabda nabi). Selain itu, untuk mengetahui bahwa suatu hadis diriwayatkan secara makna, harus diteliti terlebih dahulu asbab al-wurudnya dan kapan hadis tersebut muncul.[34] Karenanya, kegiatan penelitian dalam hal itu sangat penting.
Demikianlah faktor-faktor yang menyebabkan pentingnya penelitian hadis. Faktor-faktor tersebut masih ditambah lagi, namun apa-apa yang telah dikemukakan di atas tampaknya telah cukup ketat.

C.      Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor perlunya meneliti hadis yaitu, pertama, hadis sebagai salah satu sumber ajaran islam. Kedua, tidak seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi. Ketiga, munculnya pemalsuan hadis. Keempat, proses penghimpunan hadis. Kelima, jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam dan yang keenam yaitu periwayatan hadis bi al-ma’na.


DAFTAR PUSTAKA
            Al-Adlabi, Salahudin Ibn Ahmad, 2004, Metodologi Kritik Matan Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama.
As-Shalah,Ibnu, 1972, Ulumul Hadis, Madinah : Maktabah al-Ilmiyyah.
            Ismail, Syuhudi, 1992. Metodelogi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail, Syuhudi, 1998. Kaidah Kesahihan Sanad hadis, Jakarta: Bulan Bintang.
Khon, Abdul Majid, 2008, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah.
Noorhidayati, Salamah, 2009, Kritik Teks Hadis, Yogyakarta : Teras.
At-Tahhan, Mahmud, T.t., Taysir Mushtholahul Hadis, Surabaya: Alhidayah.

      

[1] Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) 89.
[2] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,1998) 89.
[3] Ibid,. hlm 90.
[4] Ibid,. hlm 91.
[5] Ibid., hlm 95.
[6] Ibid,. hlm 103-105.
[7] Ibid, hlm 107.
[8] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, t.t,) 33.
[9] Ibid., hal. 34
[10] Ibid.
[11] Mahmud at-Tahhan, Taysir Mushtholahul Hadis, (Surabaya: Alhidayah, t.t) 91.
[12] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi,____________________ hal. 35
[13] Ibid., hal. 36
[14] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2008) 204.
[15] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi,________________hal. 36.
[16] Mahmud at-Tahhan, _______________, hal. 92.
[17] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi,__________________hal. 37
[18] Mahmud at-Tahhan, ________________hal. 92.
[19] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi,_____________hal. 39
[20] Mahmud at-Tahhan, ___________________hal. 91.
[21] Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi,____________________hal.39.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hal. 40
[26] Ibid.
[27] Ibid., hal. 41
[28] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, hal. 16
[29] Ibid., hal. 18
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32]Syuhudi Ismail,   Metodologi penelitian Hadis, hal. 19
[33] Ibnu as-Shalah, Ulumul Hadis, (Madinah : al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972) 190-192 dalam Metodologi Penelitian Hadis, Syuhudi Ismail,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1992) 21.
[34] Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis, (Yogyakarta : Teras, 2009) 48.